Cinta Bugenvile

Rabu, 30 April 2014

Penangkap Matahari






“Dik, kenapa wajahmu murung? Kamu kangen ya sama ayah ibu?” Tanya Anya kepada adiknya.
“Aku gak kenapa-kenapa kok kak Anya, aku cuma heran kenapa hari ini semua orang bersedih?’” Jelas Dito kepada kakaknya.
“Coba lihat Pak Herman dari tadi ngelamun gak jelas di depan rumahnya, trus Pak Rusdi kasihan dari pagi bengong aja di kolam gak ada satu pun ikan yang mau nyangkut di kailnya, Bu Surti terus meringis kesakitan menahan sakit pinggangnya sambil mencuci baju, kenapa hari ini tidak ada orang yang tersenyum bahagia ”

“Mari kita tanya ke nenek kenapa hari ini semua orang bersedih?” Ajak Anya kepada adiknya

Anya dan adiknya  Dito tinggal bersama neneknya, sejak Dito masih berumur 2 tahun sampai sekarang berumur 6 tahun ayah dan ibunya belum pernah kembali, katanya sih kedua orang tuanya menjadi TKI di negeri seberang. Dito ingin sekali melihat wajah kedua orang tuanya, karena selama ini ia hanya tahu wajah ayah ibunya dari foto yang sudah usang.

“Nek, kenapa sih hari ini semua orang bersedih?” Tanya Anya
“Oh, mungkin karena hari ini matahari tidak muncul.”  Jawab nenek melihat keluar
“Bagaimana caranya supaya kita mendapat sinar matahari nek?” Tanya Dito
“Kita harus menangkapnya? Nenek berkata sambil mengambil toples  kaca dari lemari,  kemudian berjalan ke arah cahaya yang keluar dari jendela dan memasukkan cahaya tersebut ke dalam toples kaca.
“Begini caranya “ nenek menunjukan cara menangkap matahari kepada kedua cucunya.
“Rasakan cahayanya di jemarimu, genggam dan segera masukkan ke toples. Hati-hati dan harus cepat karena cahaya matahari mudah rusak” ujar nenek tersenyum memandang wajah cucunya.
“Oh begitu ya nek, boleh toplesnya untuk kami.”
“Ambillah, nenek menemukan toples itu dari tempat sampah kemarin, tuh masih banyak ambillah semuanya dan kumpulkan matahari sebanyak-banyaknya.” Jelas nenek.
Sepertinya matahari hari ini memang sedang murung, sehingga ia enggan untuk menampakkan diri, cahayanya tertutup awan abu-abu. Sulit untuk menemukan cahayanya.
“Kita ke gudang kosong itu kak, di sana pasti banyak cahaya matahari” ajak Dito.
Di dalam gudang gelap tersebut banyak terdapat jendela dan ventilasi udara, dari situlah cahaya-cahaya itu masuk dan terlihat jelas.  Mereka mengisi toples tersebut dengan cahaya matahari  seperti yang nenek mereka lakukan.
“Sudah penuh semua,  yuk kita jual”  ajak Anya kepada adiknya.
“Kita jual di dekat pemancingan saja di sana banyak orang lewat, matahari kita pasti laku.”ajak Dito

“ Lagi ngapain Anya dan Dito? Tanya Pak Herman.
“ Kita lagi jualan matahari pak, beli dong pak cuma limaratus rupiah?
“Matahari? , Memangnya matahari bisa dijual ya, bagaimana kalian mendapatkanya” tanya pak Herman Penasaran.
“Kami menangkapnya pak?” jelas Anya.”
“Ya sudah bapak beli satu.” Sambil mengulurkan kepingan limaratusan.


“Kalian jual apa ?” Tanya Pak Rusdi yang akan pergi memancing.
“Matahari, pak” jawab mereka serempak.
“Hmm… saya beli satu ya.” Pak Rusdi memberikan uangnya tanpa banyak tanya.”


“Apa ini? “ tanya bu Surti yang kebetulan lewat.
“Matahari bu?”
“Matahari? trus kalian menjualnya?”
“ Iya bu cuma lima ratus kok bu?”
“Kalian jangan bohong ya? Mana mungkin matahari bisa di jual sambil memandangi toples toples yang bagi bu Surti terlihat kosong.”
“Beneran kok bu kita tidak bohong.”  Anya membela diri.
“Ya sudah ibu beli satu, tapi kalian jangan bohong lagi ya” Dito dan Anya hanya tersenyum mendengar ucapan Bu Surti.
 Tanpa terasa Toples –toples mereka banyak terjual, hanya tersisa dua.
“Sudah sore kita pulang saja yuk!”  ajak Anya kepada Adiknya
“ Toplesnya sisa dua, nih satu untukmu dan yang satu untukku.” Anya memberikan satu toples kepada adiknya.
“Besok kita jualan matahari lagi kak?” Tanya Dito.
“Kita lihat nanti,  apakah semua orang yang membeli matahari kita bisa tertawa bahagia?”

Mereka berjalan dengan riang sambil mendendangkan lagu-lagu bahagia. Menyusuri jalan kampung yang mulai sepi di sore hari.

“Horeee ..hore anakku dapat bea siswa di universitas negeri.”  teriak pak Herman kegirangan

Di samping kolam pak Rusdi sedang tersenyum-senyum sambil bernyanyi karena hari ini banyak ikan yang ia tangkap.

Begitu juga Bu Surti yang sedang mencuci baju sambil bernyanyi riang, karena pinggangnya tidak sakit lagi.

Anya dan Dito tersenyum begitu banyak kebahagiaan hari ini yang mereka lihat. Mereka senang karena matahari-matahari di dalam tolpes telah membawa kebahagiaan bagi mereka semua.

“Anya…..Dito….” terdengar seseorang memanggil. Anya berlari menghampiri suara itu dengan sangat gembira, tapi Dito hanya diam terpaku.
“Dito…ayo kemari ini orang tua kita?” ajak Anya.
Seketika keluar senyum kegembiraan yang luar biasa dari bibir mungil Dito dan langsung berlari menghampiri kedua orang tuanya. 

Matahari memberi kita kehidupan
Matahari memberi kita kebahagiaan
Matahari membuat bumi kita berputar
Setiap hari kita menikmati cahayanya jadi jangan pernah  melupakannya……














Maafkan Ibu



Maafkan Ibu …



            Kulepaskan pandangan ke segala penjuru, daun-daun masih basah dan tanah pun masih tergenang air bekas hujan lebat siang tadi. Ada pemandangan yang tidak bisa hari ini, kenapa banyak ikan-ikan kecil tergeletak di teras depan, padahal rumahku jauh dari sungai ataupun selokan.  Beberapa hari lalu Mang Udin tetanggaku memang membuat kolam kecil, tapi kolam kecil itu kan diberi kawat, tidak mungkin ikan-ikan itu dari sana.

“Mba ikan dari mana  ini? tegur adiku.
“Gak tau, siapa yang iseng buang ikan disini ya”
“Masih banyak yang hidup mba, kita masukin aja kekolamnya Mang Udin.” Ajak adikku
“Oh ya udah kalo begitu..kasian juga ikannya.”  

            Lebaran sudah lewat 3 hari tetapi suasananya masih terasa, masih banyak tetanggaku yang dikunjungi oleh sanak saudaranya. Sedangkan aku sendiri  dari lebaran pertama sampai kemarin tidak ada habisnya mengunjungi sanak saudaraku. Untuk hari ini kuputuskan istirahat di rumah mengingat usia kandunganku 6 bulan dan perutku yang semakin besar.
               Ini  adalah kehamilan keduaku, kehamilan yang diluar rencana , anak pertamaku masih berusia 17 bulan, suamiku tadinya tidak senang, tapi lama kelamaan ia menerimanya juga, namun tetap saja  sikapnya berbeda dengan waktu baru mengetahui aku hamil anak pertama kami. Pada kehamilan kedua ini suamiku tidak begitu perhatian, bahkan untuk sekedar membelai atau menyapa perutku saja tidak pernah.
               Sekarang  rumah kami pisah dengan orang tua,  jadi segala pekerjaan rumah tangga aku kerjakan sendiri. Padahal selain itu aku juga harus mengajar dan mengurus putraku, semenjak pindah rumah aku belum menemukan pengasuh jadi  harus membawa serta anakku kesekolah tempat aku bekerja, Mungkin karena terlalu kelelahan  atau ada  penyebab lain akhir-akhir perutku sering mengalami kontraksi.  
              Entah kenapa sejak tagi tadi perut ini tidak beres, terasa berbeda dan terkadang agak sakit. Tadinya aku berusaha untuk tidak merasakannya tapi lama kelamaan semakin sakit, namun aku berusaha menutupinya takut membuat suamiku khawatir. Toh memang hal ini biasa dialami oleh ibu hamil. Alhamdullilah menjelang sore sakitnya mulai hilang.

                Malam ini perutku mengalami kontraksi lagi, aku kira kontraksi seperti biasanya yang lama kelamaan akan hilang. Tapi sudah hampir dua jam sejak isya tadi rasa sakit ini belum hilang juga.

“Kenapa bu?  Tanya suami yang terbangun mendengar rintihanku.
“Gak tau yah, dari tadi kok perutku sakit banget..gak biasanya seperti ini.”
“Ya sudah kita ke klinik saja biasanya jam segini masih buka.”  ajak suamiku sambil melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 10 malam.
                  Dengan mengendarai sepeda motor kami ke klinik, rasa sakit perutku semakin menjadi, rasanya gak karuan sakit luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa berjalan tegak lagi karena harus menahan sakit.

“Maaf  istri bapak harus dibawa kerumah sakit, kami tidak sanggup menangani kejadian seperti ini, karena kandungan ibu masih 6 bulan dan kemungkinan akan melahirkan, jika dirumah sakit peralatannya lebih lengkap.”  Bidan klinik memberi penjelasan.
 Tidak percaya rasanya mendengar penjelasan bidan jika aku akan melahirkan, kandunganku masih 6 bulan tidak mungkin,  apa jadinya nanti bayiku.
“Bu bidan aku belum siap melahirkan!” Aku berteriak tidak percaya.
“Tenang bu, di rumah sakit nanti penanganannya lebih baik kok."  bu bidan mencoba menenangkanku.
             Bunyi sirine membelah kesunyian malam, karena sudah mendekati tengah malam jalanan mulai sepi sehingga mobil ambulans yang mengantarku lebih leluasa melaju menuju rumah sakit, didalam ambulans aku sudak tidak dapat menahan lagi rasa sakit. Aku  berteriak dan berontak seperti orang kesurupan, tanpa sadar aku menggigit, mencakar suamiku.
“Istighfar bu.” Suamiku.
“Astaghfirullahal’adzim..” ku
  sebut sebisaku.
                Tanpa terasa aku sudah berada di ruang UDG rumah sakit. Dokter, bidan, suster silih berganti memberi pertolongan padaku. Tepat pukul satu malam lahirlah putriku, dengan lahir normal. Sayup-sayup terdengar tangisannya, dari kejauhan kulihat ia dibalut kain berwarna merah jambu,  dihidungnya terdapat selang yang terhubung dengan tabung oksigen. Bayi mungil kurang bulan itu lahir dengan berat hanya 1,3 kg  hanya sebesar botol.
“Bagaimana anak saya bu.?” Tanyaku kepada bidan.
“Alhamdullilah bu ..selamat..seorang putri”
          Lega rasanya hati ini. Setelah peristiwa yang aku alami tadi, rasa sakit yang amat sangat tidak percaya rasanya aku harus melahirkan di usia kandunganku 6 bulan dan selamat.
                  Setelah pulih aku dipindahkan kekamar perawatan, aku dirawat di kamar kelas 3 di sana terdapat  4 ibu–ibu yang usai melahirkan juga, masing-masing tangan kami terdapat gelang plastik, ada yang berwarna biru ada yang berwarna merah muda, gelang berwarna merah muda menandakan bayi yang dilahirkan perempuan dan biru untuk laki-laki
                Setelah seharian di kamar perawatan aku heran kenapa bayiku belum diantar seperti ibu–ibu yang lain. Ada beberapa ibu yang sudah menyusui anaknya. Tapi bayiku sejak semalam belum menyusu. Dimana dia? kenapa tidak segera dibawa kesini? Baik-baikkah dia? Pertanyaan-pertanyan ini terus berkecamuk dalam pikiranku, sementara suamiku masih tertidur karena lelah tidak tidur semalaman.
“Suster kenapa bayiku tidak dibawa kesini?” Tanyaku kepada suster yang bertugas.
“Bayi ibu berbeda..bayi ibu kan lahir prematur jadi harus di inkubator di ruang Perinatology.
Jika  ingin bertemu dengan bayi ibu silahkan kesana nanti saya antar.” Jelas perawat itu dengan ramah.
             Ingin rasanya marah kenapa aku harus dipisahkan dengan bayiku, anak kandungku sendiri. Tapi mungkin ini sudah prosedur rumah sakit mau tidak mau aku harus menurutinya.

              Perinatology, ruangan itu terletak dilantai bawah agak terpisah dengan bangunan utama rumah sakit. Di dalamnya banyak terdapat kotak-kotak kaca seperti aquarium yang biasa disebut inkubator dan dipenuhi dengan aneka macam alat kedokteran.  Ada  4 bayi yang ada di ruangan ini salah satunya kembar. Dan ukuran tubuhnya kecil-kecil, di urutan paling ujung ada seorang bayi mungil yang sedang tertidur, bayi ini ukurannya paling kecil dari pada bayi yang lain. kaki tangannya terdapat infusan sedangkan dihidungnya terdapat selang yang terhubung dengan tabung oksigen. Tubuhnya  sangat kecil sehingga pampersnya terlihat kebesaran. Kulitnya keriput menandakan betapa rapuhnya dia.  Dan  setelah melihat papan namanya tertulis ‘Bayi Ny. Eka”. Itu bayiku. Aku tertegun, tak terasa air mataku menetes. Dari kaca berukuran 1 X 2 M aku melihat bayiku tergelatak tak berdaya. Ingin sekali aku memelukknya. Tapi bayiku belum boleh dikunjungi bahkan aku ibunya sekalipun. aku hanya bisa melihatnya dari kaca.
              Satu bulan telah berlalu, Selama itu pula setiap dua jam sekali aku berkunjung kerumah sakit mengantar sebotol ASI untuk bayi mungilku. Menatapnya di kaca dan sekedar membisikkan kepadanya betapa aku sangat sayang kepadanya.
“Bagaimana keadaan putri saya dok?” Tanya ku kepada dokter yang bertugas menangani bayiku. Setiap seminggu sekali aku diperbolehkan untuk bertemu dokter untuk sekedar menanyakan keadaan putriku.
“Untuk keseluruhan baik, bayi ibu sudah menunjukkan perkembangan, berat badannya sudah naik. Namun ada berita yang tidak  mengenakkan yang harus ibu dengar.” dokter itu menjelaskan.
“Apa dok? Apa pun itu saya siap dok?” Jawabku yakin disampur penasaran
“Anak ibu kemungkinan terkena ROP.”
“Retinopathy of prematurity (ROP) adalah kelainan pada mata yang disebabkan adanya gangguan perkembangan retina (selaput syaraf yang melapisi dinding dalam bola mata) pada bayi prematur.”
“Maksudnya dok,  saya masih belum mengerti?” Aku meminta penjelasan lebih lanjut.
“ROP menyebabkan kebutaan bagi bayi ibu. Kemungkinan bayi ibu akan buta dari lahir.” Pelan tapi terdengar sangat jelas.
Deg..jantungku terasa terhenti, kenyataan pahit apa lagi ini, tangisku langsung meledak suamiku hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.
            Percaya atau tidak inilah kehidupan yang harus aku jalanani mempunyai seorang anak tuna netra, seorang ibu yang harus menerima kenyataan bahwa putri  tercintanya tidak akan pernah melihat wajah ibu yang melahirkannya.
Maafkan ibu…..maafkan ibu anakku….maafkan ibu yang melahirkanmu tidak sempurna.











Rabu, 23 April 2014

Cinta Bugenvil



 



Di Jodohkan

“Piye Nduk, kamu mau nggak?” Ibu kembali menanyakan masalah itu, masalah yang paling aku hindari. Malas sekali aku membahasnya.

“Nggak taulah Bu baru juga aku nyampe dari Jakarta? Ibu nggak kasian sama aku? aku kesel Bu! males aku mbahas masalah itu! kasih aku waktu berfikir!” jawabku mengelak sambil meninggalkan Ibu yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Masalah inikan sudah kita bicarakan sebulan yang lalu, menurut ibu waktu yang ibu berikan sudah cukup untuk kamu berfikir!” nada suara Ibu sudah mulai meninggi

“Pak Suroso bertanya terus kepastian dari kamu, suka nggak suka Sabtu ini mereka akan datang ke rumah!”

“Praaaang!” tak sengaja gelas di tanganku terjatuh. Secepat itukah aku kan belum memberikan kepastian.

Buru-buru ku rapikan pecahan gelas yang jatuh, “aaargh.”.darah segar keluar dari jari manisku. Segera kuambil tissue sebelum Ibu melihat.

“Maafkan Ibu Nduk, Ibu bukannya mau memaksa kamu untuk menerima lamaran itu, tapi kamu kan tahu selama ini yang membiayai bapakmu sakit sama keperluan kamu kuliah kan pak Suroso, Ibu  nggak tau gimana menolaknya?”

“Berarti Ibu menjual aku kepada pak Suroso, aku ini bukan barang Bu, aku manusia aku akan menemukan jodohku sendiri bukan dijodohkan seperti Siti Nurbaya!”

“Ibu cuma minta pengertianmu, sedikit berkorban untuk kebaikan orang banyak, untuk orang tuamu, orang tuamu ini hanya buruh tani biasa.”

“Tadi Ibu menaruh foto calon suamimu di meja rias di kamarmu, lihatlah dahulu mungkin kamu akan menyukainya, namanya Rasyid orangnya baik, dia kerja di TNI AU, sebulan lalu Ibu bertemu dengannya. Katanya sekarang ia  sedang ada tugas di Yogyakarta.”

Apa! Aku akan menikah dengan seorang angkatan, oalaaah mimpi apa aku ini, apes tenan, punya suami angkatan bakalan sering ditinggal tugas. Iiih gak sudi aku!

Sebenarnya rasa capek dan lelah menempuh perjalanan dari Jakarta  belum hilang, tapi karena keadaan memaksa jika aku tetap di rumah Ibu akan terus membahas masalah itu. Kuputuskan untuk keluar rumah, menghirup udara segar pedesaan, desa kelahiranku yang sangat kucinta. Dengan sepeda ontel milik ayahku aku mulai berkeliling desa, tidak banyak perubahan yang berarti setelah aku tinggal selama 3 tahun kuliah di Jakarta.

Dari kejahuan ada sebuah mobil Jeep berlawanan arah tiba-tiba mengklakson sehingga membuatku kaget aku tidak dapat mengendalikan sepedaku dan terjatuh.

“Aargh…gubrak!”
Aku terjatuh kesawah. Sepeda dan tubuhku penuh dengan lumpur.

“Mobil sialan, nggak punya mata yang nyetir.” teriakku

Mobil itu berhenti, keluarlah seorang laki-laki jakung bertubuh tegap manghampiriku

“Maaf mba …..maaf.. gara-gara saya ya, jadi jatuh”

“Udah tau nanya lagi!” jawabku kesal

“Sekali lagi maaf ya mba, sini saya bantu" sambil mengulurkan tangan.

“Nggak..nggak usah saya bisa sendiri” jawabku kesal sambil mencoba mendirikan sepeda dan  tertatih tatih meninggalkan lelaki itu yang hanya diam terpaku.

“Kamu kenapa kok belepotan begitu Nduk, lagian sih kamukan masih capek kenapa juga pecicilan pake main sepeda segala, sana mandi! tuh sudah ibu rebuskan air panas.”

Aku hanya terdiam masih kesal atas peristiwa tadi ditambah masih terngiang omongan ibu tadi pagi.

Segar rasanya setelah mandi dengan air hangat, semua seperti tertanggalkan, semua rasa capek dan perasaan marah, kesal hilang. Kurebahkan tubuh ini tidur nan empuk di kasur kapuk buatan ibuku. Kangen rasanya berada di ruangan ini, kamar favoritku, tidak banyak berubah, semua masih seperti yang dulu. Buku-buku lama dan fotoku semasa kecil dan masa SMA masih terpajang rapi di tempatnya, ibu benar-benar merawatnya dengan baik.

Tiba-tiba mataku tertuju ke meja rias ada sebuah foto, ini pasti foto yang ibu maksud. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung mengambil dan menyobeknya, kemudian membuangnya jauh–jauh keluar jendela tanpa kulihat dulu, bagiku itu tidak perlu. Aku tidak mau melihat wajah lelaki yang akan menikahiku dengan cara membeliku dengan alasan membantu.

Jika tahu akan seperti ini tidak sudi aku kuliah ke Jakarta., kuliah  sebenarnya bukan keinginanku tapi bapak ingin anak semata wayangnya ini ingin jadi guru dan bisa mengabdi di desa kelak. Ternyata setelah aku menyelesaikan kuliahku aku dipanggil pulang untuk menikah dengan orang yang tidak aku kenal.

Pak Suroso memang bukan orang asing bagiku, beliau adalah sahabat almarhum ayahku, seorang dokter, beliau tinggal di desa sebelah, beliaulah yang merawat bapakku sampai akhirnya meninggal dunia. pak Suroso  mempunyai dua orang putra, tapi yang tinggal bersamanya hanyalah putranya yang kedua Yahya, sementara Rasyid dari kecil tinggal bersama mbahnya di Yogyakarta.  Oleh karena itu aku tidak pernah melihat Rasyid sama sekali.

Tidak terbayang rasanya akan menikah dengan orang yang tidak aku kenal, menikah dengan rasa benci, tapi benar yang ibu  katakan apapun alasannya, aku  tidak mungkin menolak lamaran itu. Pak Suroso orangnya baik begitu besar kebaikanya terhadap keluargaku sangat besar sampai kami tidak tahu harus bagaimana membalasnya.

Menikah dengan tanpa rasa cinta apa jadinya rumah tanggaku nanti. Di tambah lagi kata temanku yang menikah dengan angkatan semua tidak ada yang beres hanya keluh kesah yang ada, karena sering di tinggal tugas, ditambah lagi orang angkatan itu tidak ada yang romantis. Aku juga punya mimpi mempunyai suami yang penyayang dan romantis dan selalu ada di sampingku, aku juga ingin mempunyai cerita cinta yang indah, bukannya seperti ini menikah karena perjodohan, masa depan apa yang yang kan kuhadapi nanti. Sesak dada ini memikirkan semua ini, ingin rasanya kabur jauh meninggalkan semua ini, tapi aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendiri.

Aku menerima pernikahan ini bukan untukku. Kulakukan ini untukmu Ibu...






 Pertemuan

“Haaah, dijodohkan sama anaknya pak dokter?  mimpi apa to Rum, beruntung banget kamu!” celetuk  Rani.

“Ran aku kesini tuh pingin cari solusi, bukannya mendengarkan ocehanmu yang terkesan banget merestui perjodohan itu,” jawabku kesal

“Kamu itu kan sahabatku, Ran tolong dukung aku!" ucapku memelas. aku seperti kehilangan harapan, sahabatku sendiri saja menyambut gembira perjodohan ini. Ya Allah kepada siapa lagi aku harus mengadu.

“Dengar ya Arumi, aku dukung kok jika kamu menikah dengan anaknya pak Suroso.” Jawab Rani tersenyum-senyum sambil mengedip-kedipkan mata.

“Rani! aku serius aku bingung..aku..gak tahu harus gimana?..aku..aku..”

“Begitu aja kok bingung, tinggal terima aja lamaran itu beres kan! Apa sih yang kamu cari Rum, masa depan cerah ada di depan mata. Kamu mau nunggu apa lagi Rum? Cinta?

”Lihat aku, aku menikah dengan cinta dengan lelaki pilihanku sendiri, tapi apa jadinya? Sudahlah gak usah cerita masalah itu,” tukas Rani

Mendengar perkataan Rani sedikit bergetar hatiku, Rani adalah sahabat terbaikku, kami bersahabat sejak di sekolah dasar. Kasihan Rani di saat usia pernikahannya menginjak dua tahun dia harus mengalami perceraian karena suaminya mempunyai wanita idaman lain, padahal anaknya masih kecil.

“Kamu mau dijodohkan sama anak pak dokter yang mana? Yang angkatan apa yang dokter?” tanya Rani penasaran.

“Angkatan,” Jawabku singkat

“Oh… aku cuma kenal mas Yahya yang dokter, kalo kakaknya sih katanya di Yogya yang namanya…siapa ya namanya? Waduh aku lupa ?” jelas Rani sambil tepok jidat.

“Rasyid,” jawabku.

“Oh..ya..ya Rasyid. Sudahlah Rum, niat Ibumu itu baik kok, aku yakin kamu pasti bahagia,” bujuk Rani

“Tapi kenapa harus aku sih yang alami semua ini?”

“Kamu itu lucu ya disuruh nikah kok sedih, kalo aku masih gadis, aku mau nggantiin kamu nikahin Rasyid, dengan senang hati, Rasyid mau nggak ya sama janda,” ledek Rani

“Ran, kamu tahukan aku ini orangnya paling nggak suka kalo dipaksa, aku nggak mau nikah dengan cara seperti ini!, aku nggak suka, apalagi cinta, menikah kan bukannya untuk sehari dua hari tapi kalo bisa untuk selamanya, sekali seumur hidup,” tak terasa air mataku menetes

“Oalaah cah ayu, hidup kita ini memang dihadapkan dengan berbagai macam pilihan, belum tentu sesuatu yang kita pilih itu akan berdampak baik untuk kita, hanya Allah yang tahu, tugas kita yaitu jalani kehidupan yang ada di depan kita, terus kita tinggal serahkan semuanya kepada-Nya, minta yang terbaik buat kita. Kita manusia hanya bisa berencana tetapi tetap yang memegang kendali Allah SWT,” nasehat Rani yang  berusaha memberikan secercah harapan kepadaku tetapi bagiku semuanya tetap abu-abu nggak jelas.

“Sabar ya, semoga ini adalah jalan terbaik yang Allah berikan kepadamu,” Jelas Rani sambil memelukku yang masih sesenggukan menangis.

“Sudahlah sekarang kamu pulang, katakan kepada Ibumu jika kamu setuju menikah supaya hatimu lega.”

Kuhapus air mataku, hati ini masih terasa kacau kuputuskan untuk tidak pulang kerumah dahulu, sepertinya kaki ini mengerti hatiku yang sedang gulana, aku berlari terus berlari menyusuri pematang sawah menjauh dari keramaian, hari ini aku ingin menangis sepuasnya.

Di tempat inilah aku biasa menangis,di ujung persawahan desaku di saat ada masalah di sinilah aku bersembunyi, pohon-pohon trembesi  menjadi saksi saat hati ini sedang bersedih, angin-angin semilir dengan setia selalu  menghiburku. Setelah hati ini tenang barulah aku pulang.

“Bu aku memutuskan untuk menerima lamaran itu,” akhirnya kata-kata yang selalu di tunggu Ibu aku ucapkan juga. Apakah hatiku akan lega seperti yang dikatakan Rani? Ah, ntahlah sepertinya tidak. Seketika wajah ibu berseri-seri bak seorang bocah diberi mainan.

“Alhamdulillah…Ibu bahagia sekali mendengarnya Rum, Insya Allah Rum kamu nggak akan salah pilih. Doa ibu selalu menyertaimu."

“Tapi ada syaratnya Bu, setelah menikah nanti aku tidak mau kemana-mana aku cuma mau tinggal di sini bersama ibu.”

“Tapi Nduk, apa nak Rasyid akan betah tinggal di gubuk reyot begini, kamar mandi saja kita nggak punya.”

“Itu urusan dia Bu, pokoknya jika syaratku tidak dipenuhi aku tidak mau menikah.” ancamku

“Ya sudah nanti Ibu bicarakan dengan pak Suroso, yang penting bagi Ibu kamu sudah setuju, lega rasanya hati Ibu.

“ Ibu mau telepon Pak Suroso dulu," sembari mengambil Hp di meja. "Sudah sana cuci piring dulu!" perintah Ibu sambil menunjukkan tumpukan piring dan panci yang kotor.

***
“Tok..tok”
“Assalamulalaikum…”terdengar pintu diketuk

“Ibu ada tamu” teriakku dari dapur

Terdengar ketukan pintu lagi. Ternyata Ibu tidak ada rupanya.
Terpaksa kuhentikan kegiatanku mencuci piring. Aku clingak-clinguk mencari Ibu, kemana Ibu? batinku.

Ku buka pintu perlahan alangkah kagetnya aku ada sesosok lelaki yang berdiri di hadapanku, memakai seragam tentara lengkap dengan atributnya. Tapi ini kan lelaki yang membuat aku terjatuh ke sawah kemarin.

“Ngapain kamu ke sini?” tanyaku ketus

“Kenapa ya jika kita bertemu kamu selalu dalam keadaan lucu, pertama kemarin mukamu belepotan lumpur, kedua sekarang kamu salah pake bedak ya muka kamu hitam-hitam kaya pake areng,” Jawab lelaki itu. Mendengar ucapannya aku langsung mencoba melihat wajahku di kaca jendela, ternyata benar belepotan areng.

“Tapi tenang aja kamu masih cantik kok,” ledek lelaki itu sambil mengerlingkan matanya.

“Orang aneh, sekali lagi aku tanya mau ngapain kamu kesini? ada perlu apa?”

“Bu Tyo ada, tapi kalo nggak ada sama kamu juga nggak apa-apa kok?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. Tapi dengan repleks aku menepis tangannya.

“Saya cuma mau memperkenalkan diri nama saya Rasyid, kamu pasti Arumi kan?”

Deg. Berhenti rasanya jantungku mendengar nama itu. Inikah calon suamiku. Kesan pertama bertemu saja sudah menyebalkan.

“Ibu lagi nggak ada di rumah” Jawabku singkat sambil menutup pintu, tapi tiba-tiba dihalangi oleh tangannya dan tidak sengaja tangan kami bersentuhan, segera kutarik tanganku dari pintu.

“Eeeh ada nak Rasyid toh, kapan datengnya disuruh duduk dong Rum.” tiba-tiba ibu datang  mengagetkanku.

Kutinggalkan mereka berdua di ruang tamu , kuteruskan kembali kegiatan mencuci piringku, setelah itu kubersihkan mukaku dengan sabun.

“Rum mana kopi buat nak Rasyid. Teriak ibu dari depan
Kenapa nggak Ibu saja sih yang buat kopinya, gerutuku dalam hati. Terbersit rasa ingin berbuat jail, kuganti gula dengan garam. Biar tahu rasa, semoga saja dia jadi tidak berminat menikah denganku.

Kusuguhkan kopi itu dalam diam, aku berusaha terus menunduk untuk menghindari adu pandang dengan Rasyid. Karena sedari tadi matanya tidak pernah lepas memandangku. Ingin rasanya kulempar nanpan ini ke mukanya. Tapi itu terlalu mencolok jika aku tidak suka kepadanya.

“Kamu jangan kemana-mana Nduk, duduk di sini," perintah Ibu, “silahkan diminum kopinya nak Rasyid!" lanjut beliau.
Dengan setengah hati aku menuruti.

Aku berusaha untuk mengalihkan pandangan keluar rumah melihat hamparan sawah yang luas, sambil menunggu reaksinya minum kopi dicampur garam. Di sruput nya sedikit kopi itu.

Tapi  kok, reaksinya biasa aja? Tapi benar yang aku masukan tadi garam, kenapa dia kelihatan baik-baik saja? Jangan-jangan indera perasannya sudah somplak.

“Enak kopinya. Terima kasih ya Rum,” Rasyid berkata sambil mengeluarkan senyuman menggoda. Senyumannya memang manis sih, tapi tidak..tidak! aku tidak akan tergoda.

“Kapan datang dari Yogya nak Rasyid?” tanya Ibu memecah kesunyian
“ Udah seminggu Bu,sekarang saya  di tugaskan di Solo jadi bisa pulang pergi”

“Sekarang silahkan ngobrol sama Arumi ya, Ibu banyak kerjaan di belakang.” aduh gimana nih kenapa aku ditinggal? Gerutuku dalam hati.
“Tahukah Arumi, kenapa kopimu terasa nikmat, karena aku minumnya sambil menatap wajah manismu, walaupun kamu masukkan garam sekalipun tetap akan terasa manis.”

Menyindirkah maksudnya? Mendengar kata-kata itu rasanya hati ini agak melambung. Tapi kemudian aku hapus rasa itu.

“Kalo memang enak habiskan aja, nanti aku buatin lagi,” nggak mungkin dia menghabiskan kopi itu kan rasanya gak karuan. Tapi apa yang terjadi? secepat kilat dia menghabiskan kopi itu tanpa sisa. Sinting nih orang. batinku dalam hati.

“Oh iya, ini ada titipan dari Ibuku, untukmu dan Ibu Tyo. Rasyid mengeluarkan sebuah bungkusan yang dibungkus rapi  dengan kertas kado.

“Makasih, nanti aku sampaikan kepada ibu.” Jawabku singkat

Alhamdullilah keadaan ini tidak berlangsung lama terdengar suara azan maghrib berkumandang, sehingga aku punya alasan untuk meninggalkan Rasyid.




 Lamaran

Tak biasanya rumahku yang sederhana bisa rapi dan sebagus ini. Dari halaman, sampai belakang dan samping bersih tertata. Tumpukan sampah dan kayu yang tidak terpakai, yang dulu berada di samping rumah hilang, ntah dibuang kemana. Ibu sendiri dari pagi buta sudah sibuk beres-beres. Beberapa sanak saudara juga datang membantu, semua ini untuk menyambut kedatangan keluarga Rasyid. Hari ini keluarga Rasyid akan secara resmi melamarku sekaligus kami bertunangan. Di hari inilah akan ditentukan hari pernikahanku. Hari yang akan merubah hidupku.

Aku sendiri enggan ikut menyibukkan diri dengan mereka. Aku lebih merasa nyaman di dalam kamar. Malas rasanya mendengar ocehan saudara-saudara yang selau meledekku.

“Senengnya yang mau lamaran?”

“Punya calon suami penerbang enak ya, bisa terbang keliling dunia?” celoteh salah satu saudaraku.

Pening kepalaku mendengar semua ocehan nggak jelas itu. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya menghadapi semua ini.

“Rum, sudah siap belum Rum? cepet dandan sing ayu! Sebentar lagi tamunya datang!” Teriak Ibu dari luar. Kulirik pakaian kebaya yang tergantung di pintu. Kebaya yang dua hari lalu dibawa Rasyid, pemberian Ibunya. Haruskah aku memakainya? Dengan berat hati kutaanggalkan kebaya itu dari gantungan. Sebenarnya kebaya ini sangat indah seandainya bukan keluarga Rasyid yang memberikan aku pasti akan sangat menyukainya.Tahu benar mereka ukuran bajuku, pas sekali. Oh iya aku lupa pasti mereka sudah bekerja sama dengan Ibuku.

“Lho Rum kok belum dandan, sini aku yang dandani ya,” Pinta Rani yang tiba-tiba menghampiriku.

“Wuih cantiknya, senyum dong biar tambah cantik,” oceh Rani setelah selesai mendadaniku

 “Kamu nggak usah gugup gitu, nanti aku akan selalu mendampingi kamu kok”

“Bener ya Ran, kamu jangan kemana-mana?” Rani mengganguk

“Rum keluar  tamunya sudah datang!” panggil Ibu.

Terlihat sekitar 6 sampai 7 mobil berhenti di depan rumahku. Satu persatu bermunculan keluarga Rasyid. Yang wanita berkebaya, masing masing membawa bingkisan, kue dan buah. Sedangkan yang laki-laki memakai jas. Namun ada beberapa yang menggunakan seragam angkatan, pasti ini teman kerjanya Rasyid. Rasyid di mana dia? Sejak kapan aku peduli dengannya?. Rasyid mengenakan pakaian seragam berwarna putih lengkap dengan topi dan atributnya. Aku tidak menyangkal, Rasyid terlihat gagah dan semua orang berbisik-bisik melihat Rasyid.

“Rum ganteng banget Rasyid,” Celetuk Rani di sampingku

“Bagiku biasa aja tuh!” jawabku dingin, Rani melirikku kemudian membuang muka

Keluargaku sendiri berdiri berjejer seperti pagar betis bersiap-siap menyambut keluarga pak Suroso. Satu persatu mereka masuk kedalam. Aku berusaha untuk menghindari pandangan Rasyid yang tidak henti-hentinya terus memandangku, jadi salah tingkah aku dibuatnya, risih.

Setelah sambutan sana sini akhirnya proses pertunangan tiba di mana kita berdua harus saling memakaikan cincin. Jantungku berdebar keras, mungkin Rani yang selalu di sampingku bisa mendengarnya. Kepalaku tertunduk, berat rasanya untuk mengangkat. Apalagi jariku dingin sepeti es saat Rasyid memakaikan cincin.

Lega rasanya acara ini telah usai, Rasyid dan keluarga telah pergi. tapi kegundahan hati ini belum selesai, pernikahanku sudah ditentukan, 2 bulan setelah acara pertunangan. Semua telah disiapkan oleh pak Suroso dan keluarganya. Kenapa cepat sekali?

Hari–hari menjelang pernikahan aku habiskan untuk mencari perkerjaan. Aku memasukan lamaran ke sekolah–sekolah, aku ingin setelah menikah nanti aku sudah punya pekerjaan. Setelah melamar kesana kemari akhirnya aku diterima di sebuah sekolah dasar swasta. Dan langsung izinkan mulai mengajar. Dengan adanya kesibukan baru sedikit demi sedikit aku bisa melupakan segala ketegangan yang telah terjadi.

Rasyid pernah sekali berkunjung kerumah, tapi aku berhasil menghindarinya dan akhirnya Ibu yang harus menemaninya. Setelah itu dia tidak pernah datang lagi, aku dengar ia sedang ada tugas dadakan ke Yogya.

*****
Tak terasa sebulan telah berlalu, pernikahan ku sudah di ambang pintu. Sesekali keluarga Rasyid datang ke rumah untuk mengkonfirmasi keperluan pernikahan. Baju pengantin pun sudah dipesan, undangan telah dicetak hanya tinggal di sebar. Semuanya  keluarga Rasyid yang mengurus apalagi masalah biaya keluargaku tidak ikut campur sama sekali. Aku heran kenapa keluarga Rasyid begitu antusias sekali dengan pernikahan ini, padahal aku ini dari keluarga yang tidak mampu.

Aku sendiri tidak mau ambil pusing dengan rencana pernikahan ini, aku menyibukkan diri dengan kegiatanku yang baru yaitu mengajar, dengan muridku yang lucu-lucu yang merubah hari-hariku menjadi ceria. Setiap hari kuhabiskan waktuku di sekolah.

Hari ini seperti biasa setelah selesai mengajar aku tidak langsung pulang, aku harus mempersiapakan materi dan alat peraga yang akan aku gunakan besok. Di ruang guru banyak teman-teman yang melakukan hal yang sama denganku walaupun ada juga yang tidak peduli, lebih memilih mengobrol atau hanya sekedar mengotak-atik laptop.

“Hei ada cowok ganteng di depan sekolah, lagi nunggu siapa ya,” Celetuk bu Desi

Sementara yang lain ikutan menyusul melongok keluar. Maklum hampir sebagian besar guru temanku adalah gadis muda seperti aku dan banyak yang masih lajang. Jadi ketika ada cowok ganteng dikit langsung pada heboh. Ruang guru mulai riuh, aku yang tadinya cuek jadi penasaran.

“Mana..mana..aku juga mau lihat dong?” tanyaku penasaran sambil ikutan norak berdesak-desakan di jendela.

“Rasyid” sontak semua temanku menengok kearahku. Aku hanya bisa tersenyum, sebelum di hujani pertanyaan aku langsung  mengambil tasku dan permisi pulang, sementara teman-temanku masih melongo memandangiku.

“Aku duluan ya.”

Setelah aku melewati pintu barulah dari luar kudengar ruang guru menjadi berisik.

“Ngapain di sini?” tanyaku ketus kepada Rasyid yang sedang berdiri senderan di samping mobil Jeepnya. Mobil yang dulu pernah membuatku jatuh ke sawah. Berbeda dengan sebelumnya bila bertemu, dia selalu mengenakan pakaian seragam tapi hari dia memakai  kaos biru dan celana jins lengkap dengan sepatu kets. Di genggamanya ada sekuntum bunga bugenvil putih yang mungkin dia petik dari pohon yang terletak di depan sekolah.

 “Mau jemput  calon istriku” jawabnya singkat sambil mengeluarkan senyumannya yang khas.

“Nggak usah repot-repot aku bisa pulang sendiri.”

“Nggak repot kok kebetulan aku lagi libur,” jelasnya sambil mengulurkan tangan dan memberikan bunga flamboyan yang tadi di genggamnya. Di mana-mana lelaki memberikan bunga mawar atau krisan yang indah buat calon istrinya,ini malah bunga bugenvile itu juga boleh metik di pekarangan orang. Dengan terpaksa kuterima juga bunga itu.

“Silahkan tuan putri,” Rasyid mengandeng tanganku dan menarikku ke dalam mobil. Untuk saat ini aku tidak mau mengelak atau berdebat karena banyak murid dan orang tua yang melihat.

“Lho kok arah rumahku kan kesana? Kita mau kemana?” tanyaku panik.

“Nggak usak takut aku cuma mau ngajak jalan-jalan kamu sebentar, tenang aja aku nggak bakal nyakitin calon istriku.” jawabnya santai. Ingin rasanya lompat dari mobil, nggak kebayang aku akan berdua saja dalam satu mobil dengan Rasyid.

“Nggak usah khawatir aku sudah izin Ibumu kok.”

Hah! sampai minta ijin ibuku segala,  jelas sudah direncanakan. Pikirku kesal

Di dalam mobil aku hanya diam, sementara Rasyid sesekali mencoba mangajakku berbicara tapi aku hanya menjawab singkat tanpa basa basi.

“ Prambanan. Kita ngapain kesini?”

“Ya lihat-lihat aja, sambil belajar budaya Indonesia kan lumayan bisa buat nambah ilmu kamu mengajar, iya kan bu guru,” ledek Rasyid.

Betul juga kata Rasyid. Sudah lama aku tidak kesini. Terakhir kali aku kesini sewaktu masih kelas 5 SD dengan bapak dan Ibu, saat itu keadaan prambanan tidak sebagus dan serapi ini. Sekarang semuanya berubah.

Prambanan merupakan sebuah candi peninggalan dari kerajaan mataram Hindu, jika dikaitkan sebenarnya masih ada hubungannya dengan candi Borobudur di Magelang. Di dalam nya terdapat patung Roro Jonggrang yang terkenal.

Satu per satu kami kunjungi candi-candi yang berada dalam komplek. Ada beberapa candi diantaranya candi Roro Jonggrang. Lama ku tertegun memandangi patung Roro Jonggrang. Inikah patung yang terkenal dalam legenda itu. Sebuah kisah, dahulu ada seorang raja sakti yang bernama Bandung Bondowoso ingin mempersunting Roro Jonggrang, tapi Roro Jonggrang mengajukan sebuah syarat yaitu, ia ingin dibuatkan seribu candi dalam satu malam. Walaupun kelihatannya mustahil tapi bagi Bandung Bondowoso itu sangat mudah, karena ia mempunyai banyak pasukan jin. Namun ketika candi-candi akan selesai dibuat Roro Jonggrang yang memang tidak berminat menikah dengan Bandung Bondowoso berbuat curang dengan membunyikan lesung padi, sehingga ayam jantan berkokok dan semua jin lari. Jadillah candi candi itu tidak selesai dibuat. Hal itu membuat Bandung Bondowoso marah dan mengutuk Roro Jonggrang  menjadi patung. Sekarang patung itu bisa kita lihat di candi Prambanan.

“Jangan lama-lama memandangnya, ntar ketularan Roro Jonggrang, aku nggak bisa buat seribu candi dalam semalam kaya Bandung Bondowoso” celetuk Rasyid

“Sekarang bukannya jamannya candi Mas, tapi aku akan minta seribu gedung pencakar langit yang kamu buat dalam waktu semalam,” ledekku tak mau kalah.

Tanpa terasa aku dan rasyid terlihat akrab seperti dua orang yang telah berkawan lama. Sehari itu kami bercanda dan bergurau saling mengejek satu sama lain. Kami tidak membahas sedikitpun masalah pernikahan. Tapi bagiku itu malah lebih baik, jika teringat masalah pernikahan aku jadi kikuk berhadapan dengannya.

 Hari ini begitu cepat berlalu. Matahari telah berpulang ke rumahnya meninggalkan warna jingga di langit. Yang membuat suasana sore ini begitu indah. Rasyid mengantarku pulang sampai ke rumah. Seperti dugaanku Ibu tidak menunjukkan muka kaget sedikitpun. Beliau malah sangat berseri-seri menyambut kedatanganku bersama Rasyid.




Duka dan pernikahan

Perasaann ini tidak berubah, hatiku tetap beku. Walaupun kebencian kepada Rasyid mulai berkurang tapi tetap saja bayang-bayang perjodohan itu membuatku muak kepadanya. Semenjak hari itu ada penghuni baru di Hpku. Siapa lagi jika bukan Rasyid, setiap hari dia mengirimiku sms, bahkan  tidak segan–segan untuk telepon. Sebenarnya Rasyid baik dia sungguh menjaga perasaanku, tidak pernah menyinggung masalah pernikahan dalam setiap sms atau telponnya karena dia tahu benar jika masalah itu dibahas akan membuat aku malas untuk berbicara, justru kami hanya lebih sekedar berteman. Aku tahu sebenarnya ini adalah taktiknya untuk mengambil hatiku.

Kadang aku bertanya dalam hati, apakah Rasyid suka padaku? Apakah suatu hari aku bisa menyukainya? Bagaimana pernikahan kami nanti? Apakah akan langgeng? atau berakhir perceraian seperti Rani. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantuiku. Membuat hatiku tidak tenang. Walaupun orang di sekitarku selalu berkata kamu pasti akan bahagia. Itu tidak bisa membuat lega hatiku. Jujur ada ketakutan jika rumah tanggaku nanti kan gagal di tengah jalan. Cinta Rasyid tidak begitu aku harapkan, tetapi apakah kebahagiaan itu akan datang padaku?

Hari ini tepat 2 minggu sebelum pernikahanku, tadi pagi utusan dari keluaraga Pak Suroso mengantarkan beberapa barang seserahan, lemari,  tempat idur, kompor dan pelatan dapur lainnya. Tiba-tiba rumahku sudah di penuhi barang-barang baru pemberian keluarga Rasyid. Sepertinya pak Suroso tidak mau anaknya sengsara ketika tinggal di rumahku nanti. Semuanya telah dipersiapkan. Sebenarnya kami merasa nggak enak atas semua pemberian ini, tapi kami tak kuasa menolaknya. Aku  takut sanak saudaraku memandangku cewek matre. Namanya  tetangga pasti ada saja yang syirik atas semua ini. Malah pernah aku mendengar celoteh yang tidak sedap terdengar dari tetanggaku.

“Jangan-jangan pak Suroso diguna-guna sama bu Tyo? Masa dia merelakan anaknya Rasyid yang gagah dan ganteng itu menikah sama orang nggak punya? Padalah banyak cewek cantik dan kaya yang suka padanya?" gosip tetanggaku.

“Ran tolong bantu ibu merapikan barang-barang ini!” Sambil menunjuk barang-barang yang diberikan keluarga Rasyid. Aku pun beranjak memenuhi permintaan Ibu.

“Assalamualaikum..ya saya sendiri,” terdengar suara Ibu sedang menerima telpon dari Hp.

Innalilahiwainnalillahi rojiun…Aruuum! Teriak Ibu sekencang kencangnya yang membuatku kaget dan lari terbirit-birit menghampiri beliau.

“Ada apa bu? Kenapa?” Ibu sudah terduduk lunglai dibale depan.
“Pak Suroso Rum? Pak Suroso sudah nggak ada,  pak Suroso sudah meninggal… meninggal karena serangan jantung,” barusan saudaranya telepon. Kita diminta segera kesana. Jawab Ibu agak gagap.

Innalilahiwainnalillahi rojiun…aku tak habis pikir pak Suroso kan dokter. Memang ajal itu Allah yang mengatur siapapun dia jika Allah berkehendak memanggil  tidak akan dapat mengelak.

Aku dan ibu segera berkemas untuk menuju ke rumah Pak Suroso, supaya lebih cepat kami menggunakan jasa tukang ojek. Berita meninggalnya Pak Suroso cepat menyebar keseluruh desa. Pak Suroso siapa yang tidak mengenalnya? beliau merupakan salah satu orang yang berpengaruh di desaku. Dari tokoh masyarakat sampai ulama semua hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Sesampainya di sana, rumah pak Suroso yang memang besar telah dipenuhi orang yang melayat. Alunan surat Yassin bersahutan-sahutan disertai isak tangis saudara-saudara yang ditinggal. Ibuku sendiri dari di rumah sudah tidak dapat menahan air mata. kedatanganku dan ibu langsung disambut oleh Yahya adik Rasyid.

“Ibu sudah menunggu dari tadi Mba” kata Yahya kepadaku

Aku dan Ibu segera menuju suatu ruangan yang mungkin merupakan kamar istrinya pak Suroso. Sesampainya di kamar, istri pak Suroso langsung memeluk Ibu, keduanya pun menangis terisak–isak, aku sendiri sebenarnya dari tadi ingin menangis tapi untung aku masih dapat menahan. Aku mengalihkan pandanganku kesegala penjuru, mencari-cari Rasyid, yang dari tadi tidak tampak.

“Cari mas Rasyid ya mba?” tegur salah satu wanita setengah baya yang ada di sampingku, Aku terkejut ternyata dari tadi dia memperhatikanku.

“Mas Rasyid lagi sibuk mengurus persiapan pemakaman mba?” Kata wanita itu, aku tidak bisa berkata apa-apa hanya kubalas dengan senyuman

“Rene Nduk, Ibu mau bicara. Tiba-tiba istri pak Suroso berbicara padaku, perlahan aku mendekati beliau duduk di sampingnya, beliau memegang tanganku sambil menahan tangis.

“Keinginan terakhir Bapak adalah kamu dan Rasyid menikah, Nduk?”
“Ibu ingin kamu dan Rasyid menikah sekarang, di depan jenazah Bapak. Bersediakan Nduk?”Aku memandang Ibuku dan Ibuku pun menggangguk.

Akhirnya tangis ini tak terbendung lagi, aku menggangguk sambil memeluk istri pak Suroso. Nggak kebayang kacaunya hatiku saat itu, aku akan menikah, menikah dalam keadaan duka. Mungkin ini memang jalan terbaik, jika ini tidak dilakukan maka pernikahan kami harus ditunda minimal setahun. karena dalam kepercayaan orang Jawa tidak boleh mengadakan pesta pernikahan di tahun yang sama jika ada sanak saudara yang meninggal.

Karena pak Suroso akan di kuburkan sehabis dzuhur maka pernikahan harus segera dilangsungkan. Tidak ada persiapan yang menonjol. Tidak ada gaun  pengantin, hanya pakaian ala kadarnya yang aku pakai dari rumah. Tidak ada make up apalagi musik, semuanya terlihat aneh. Setelah semuanya dipersiapkan aku dipanggil ke sebuah ruangan di sana terlihat terbaring jenazah pak Suroso, di sekelilingnya ada sanak saudara Rasyid  dan beberapa saudaraku yang tadi telah di telepon Ibu untuk datang. Di sisi lain duduk Rasyid yang mengenakan baju koko putih lengkap dengan peci hitam. Di depannya telah duduk seseorang dengan pakaian gamis putih bersorban. Yang tak lain adalah kyai Musthopa salah satu ulama terkemuka di kotaku. Mungkin dialah yang akan menikahkanku dengan Rasyid. Aku dituntun Ibu duduk di samping Rasyid setelah itu Ibu memasangkan kerudung putih panjang di kepala kami berdua. Ntahlah wajah Rasyid saat itu seperti apa? Enggan rasanya memandang wajahnya. aku trus menundukkan kepala, berat untuk mengangkatnya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Arumi binti Sulistyo dengan mas kawin 10 gram emas dibayar tunai”

“Bagaimana, sah!”  pak Kyai bertanya

 Sah..sah..” terdengar sahut sahutan orang berkata sah. Disusul ucapan Alhamdulilah oleh hampir seluruh isi ruangan. Kemudian doa-doa pernikahan pun dipanjatkan. Setelah selesai aku mencium tangan Rasyid yang tidak disangka Rasyid mencium keningku. Kikuk aku dibuatnya. Terlihat wajah Rasyid yang tidak berseri seperti biasanya. Suram seperti ada kesedihan yang tertahan didalamnya. Setelah itu aku menghampiri Ibu, tangisku pecah kembali. Ntah tangisan apa ini? Bahagia atau kesedihan. Aku sah menjadi istri Rasyid mulai hari ini hidupku berubah.

Prosesi penguburan Pak Suroso telah selesai, beberapa sanak saudara telah kembali kerumah masing-masing, walupun ada beberapa yang masih belum pulang. Malam ini aku diminta menginap di rumah pak Suroso, sebenarnya ingin sekali menolak tapi nggak mungkin karena  statusku sekarang istri Rasyid mantu pak Suroso. Ibuku tadinya hendak pulang terlabih dahulu dengan alasan peliharaan kami ayam dam entok nggak ada yang ngurus. Tapi setelah aku bujuk akhirnya Ibu bersedia menemaniku. Nggak kebayang jika tidak ada Ibu, bagaimana rasanya sendiri di rumah yang buatku masih asing?

Setelah tahlilan selesai, suasana mulai sepi. Aku dan Ibuku masih menyibukkan diri membereskan bekas acara tahlilan.

“Nduk Rum, nanti kalo kamu tidur kamarmu di sana ya, itu kamar Rasyid. Biar Ibumu tidur sama saya,” Kata istri pak Suroso sambil menunjuk salah satu kamar.

Aku hanya mengangguk tersenyum. Maksudnya apa ini? aku harus tidur di kamar Rasyid, memang aku sudah sah menjadi istri Rasyid tapi nggak secepat ini.







Malam Pertama

Jantung ini rasanya mau copot saat kubuka pintu kamar, pelan tanpa suara. Kakiku kaku berat untuk melangkah. Gelap, mungkin dari tadi belum ada orang yang masuk. Terasa lega hati ini, tanganku meraba mencari saklar. Ketika lampu menyala. Deg! Apa ini? apa yang harus kulakukan? Rasyid sudah terbaring di ranjang. Alhamdullilah, dia sudah tertidur, ingin rasannya lari. Percuma, di luar sana tidak ada tempat untuk berlindung. Ibu pasti sudah terlelap.

“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?” bagai petir suara Rasyid mengagetkanku

“Kamu belum tidur? Ibumu yang menyuruhku kesini,” jawabku sambil menenangkan diri, berbalik hendak beranjak pergi. Tapi apalagi ini, tanganku. ya Allah ngapain dia memegang tanganku.

“Iya aku tahu, mau kemana? Sudah malam, kamu pasti capek, begitu banyak peristiwa yang terjadi hari ini.”

“Nggak usah takut begitu aku bukan setan,” ledek Rasyid sambil tersenyum memecah ketegangan

“Tenang aja aku akan tidur di bawah kok, kamu yang di ranjang,” Jelas Rasyid seperti tahu isi hatiku.

“ Nggak usah, ini kan kamarmu aku saja yang tidur dibawah.”

“Nggak usah ngeyel gitu, cepetan tidur!" kali ini sambil menggelar tikar dibawah

Aku tidak mau berdebat lagi, aku sudah mengantuk dan capek sekali, ku turuti perintah Rasyid. Rasyid sepertinya juga lelah cepat sekali ia sudah terlelap, dia pasti sangat kehilangan. Jadi teringat tiga tahun lalu waktu bapak meninggal.

****

“Selamat pagi” aku tersentak sesosok lelaki ada di depan wajahku. Rasyid sudah rapi dengan pakaian seragamnya.

“Pules banget tidurnya, maaf mengagetkanmu, aku harus berangkat kerja nanti sekalian mau mengajukan cuti. Kamu juga harus ngajarkan. Nanti kita ketemu di rumahmu ya” jelas Rasyid.

Aku hanya mengangguk. bingung hendak berkata. Aku harus mengingatkan diri ini bahwa aku sudah menikah. ada Rasyid yang selalu di sampingku.

Setelah hari agak siang aku dan Ibu meminta izin untuk pulang. Kepala sekolahku sangat pengertian setelah aku ceritakan apa yang telah terjadi, beliau memberiku cuti dua hari. Cuti untuk menata hati menyonsong kehidupan baru. Hari ini juga Ibu berniat mengadakan selametan sebagai  syukuran pernikahanku sekaligus mengirim doa untuk almarhum Pak Suroso. Hanya mengundang Ibu-ibu temannya mengaji. Mulai malam ini juga Rasyid akan menginap di rumahku. Tadi Bu Suroso berpesan untuk membawa sekalian pakaian Rasyid yang telah disiapkan.

“Ibu nggak apa-apa jika mas Rasyid menginap di rumahku?" tanyaku, sebenarnya aku  nggak tega dengan Ibu Suroso ia masih sangat berduka ditambah harus berpisah dengan anak sulungnya.

“Nggak  apa-apa Nduk, kan masih ada Yahya dan saudara-saudara yang lain.”

*****

Pengajian akan diadakan setelah Asar. Beberapa saudara dan tetangga datang untuk mengucapkan selamat sekaligus turut berduka atas meninggalnya pak Suroso. Rasyid pun sudah datang, ia tidak cangung sedikitpun berhadapan dengan saudara dan tetanggaku, Rasyid seperti sudah merasa menjadi bagian dari keluarga ini. Dia memang pandai bergaul.

“Aruuuum!” teriak Rani sambil memelukku. sahabat apa aku ini aku lupa mengabari Rani tentang pernikahanku .

“Maafin aku Ran semuanya serba mendadak, baru aku mau telepon kamu” jawabku ngeles.

“Nggak apa-apa aku turut gembira jika sekarang kamu sudah menikah., aku pikir pernikahanmu akan diundur.  Memang  ini jalan terbaik untuk kalian berdua."

“Aku mau dong kenalan sama pangeranmu itu?” celetuk Rani

“Siapa?” tanyaku pura pura

“Ya kangmasmu, yayang Rasyid” ledek Rani.

“Aku mau tanya ke dia kira-kira temannya ada nggak ya yang mau sama janda”

Aku mencubit pinggang Rani dan seketika ia menjerit sampai semua orang menoleh  termasuk Rasyid.

“Udah bantuin aku aja yuk beres-beres buat selametan, sebentar lagi ibu-ibu pengajian akan datang,” Sambil kutarik tangan Rani.

Alhamdulillah pengajian berjalan dengan hikmat. Setelah bersalam salaman dan memberi selamat. satu persatu mereka pergi. Sedangkan Rani setelah berbincang dengan Rasyid langsung pamit pulang.Sebenarnya ia masih ingin di sini tapi anaknya rewel minta pulang. Tinggallah aku, Ibu dan Rasyid. 

Matahari telah kembali keperaduannya datanglah malam. Bulan pun menghampiri dengan setia. Menghilangkan kegalauan malam. Tapi ntah kenapa, kini malam bagiku sesuatu yang menakutkan di saat aku harus sekamar dengan Rasyid.

"Nak Rasyid, jika mau ganti baju pakaianmu sudah ada di kamar Arum, kamu pasti capek  istirahatlah,” Pinta Ibu.

Malas rasanya mau masuk kamar. tapi badan ini letih sekali. Di dalam kamar terlihat Rasyid sedang celingukan mencari pakaiannya dengan hanya menggunakan handuk.

 “Pakaianmu ada di sini semua Mas,” aku berkata sambil menunjuk ke salah satu lemari, lemari seserahan kemarin.

“Makasih ya sudah merapikan bajuku” Rasyid berkata sambil memakai baju di depanku tanpa cangung aku sendiri kikuk melihatnya kemudian aku mengalihkan perhatian ku dengan menyisir rambut  sambil menatap kaca.

Tubuh ini terasa kaku ketika dari belakang tiba-tiba Rasyid memelukku. Aku mencoba berontak tapi cengkeraman Rasyid semakin kuat. Akhirnya  aku hanya bisa terdiam pasrah.

“Sudah lama ku nanti saat-saat seperti ini, kemarin adalah saat yang paling menyedihkan dalam hidupku tetapi di sisi lain adalah saat paling membahagiakanku.

Tahukah kamu, ayah sangat senang sekali saat aku bilang menyukaimu, beliau langsung berbicara dengan Ibumu, waktu itu kamu masih kuliah di Jakarta.

Tahukah Rum semenjak hari itu, hari ketika pertama kali aku melihatmu, di saat itu pula kamu adalah pemilik hatiku, aku pertama kali melihatmu tiga tahun lalu, ketika Bapakmu meninggal. Tadinya aku hanya berniat mengantar Ayah, tapi saat itu hati ini justru membawaku padamu. Aku melihatmu sedang menangis di samping rumahmu di bawah bunga Bougenvile. Terlihat sekali hatimu sangat bersedih waktu itu aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan. Ingin rasanya aku memeluk dan menghiburmu.

Ku tahu namamu Arumi dari cerita Ayah. Nama yang akan menghiasi hari-hariku. Aku sangat bersedih saat kamu memutuskan untuk kuliah di Jakarta kuminta ayah untuk mencoba membujukmu, tetapi hatimu memang sekeras batu. Tidak ada yang bisa membujukmu.

Tahukah Rum tanpa sepengetahuanmu, aku menemanimu menunggu kereta di stasiun saat kau pertama kali hendak ke Jakarta, kamu tidak mengenali wajahku jadi aku leluasa memandangmu. itulah saat terakhir melihatmu sampai akhirnya kita bertemu lagi di sawah waktu kamu jatuh dari sepeda.

Kedatanganmu, tentu aku sudah mengetahuinya. Aku yang meminta ayah untuk mempercepat pernikahan ini, setelah mengetahui kamu lulus, ayah terus mendesak Ibumu."

Aku menyimak setiap kata–kata Rasyid, terasa darah  ini mendesir kencang dan jantungku lagi-lagi tak terkendalikan. Rasyid telah mengungkapakan semua perasaannya padaku ternyata dia begitu menyukaiku atau mungkin mencintaiku. Dia sudah mengenalku jauh sebelum semua ini terjadi tiga tahun lalu sedangkan aku baru mengenalnya dua bulan.

'Maafkan aku Rum, Karena aku begitu pengecut tidak berani mengungkapkan ini semua kepadamu sebelum pernikahan kita. Ada  perasaan takut, takut akan kehilanganmu, jadi aku pasrahkan semuanya kepada Allah, biarlah Allah yang mengatur semuanya. Aku selalu berdoa kepada-Nya untuk selalu menjagamu, menjaga hatimu hanya untukku.”

 Diciumnya bahu, pipi dan leherku. Aku semakin gemetar nggak karuan dibuatnya. Aku hanya terdiam. Kata–kata Rasyid begitu tajam menusuk benteng hatiku. Lunglai aku dibuatnya.

“Kau sudah mengantuk?” tanya Rasyid mengagetkanku.

“Tidurlah, tenang saja aku tidak akan menyentuhmu kok, sambil memandangku yang dari tadi bengong dibuatnya.”

“Sabar ya..setidaknya setelah masa berkabung Ibuku selesai,” celetuknya sambil meledekku.

“Ih, siapa juga yang mau! kamu aja yang ngarep,” jawabku tidak mau kalah.

“Ya jelaslah aku ngarep, Apa mau sekarang saja?” jawabnya sambil memelukku.

“Nggaak!” kulepas pelukannya

“Bercanda kok..ngak usah takut begitu,”  Sambil merebahkan diri di ranjang.

“Sabar ya” ledeknya lagi.

“Bluuk!” bantal melayang ke wajahnya. “Tuh ama bantal aja,” jawabku ketus

“Ngapain kamu tidur di situ,  pake tiker aja  di bawah.”

“Sudahlah kita tidur berdua ya,” jawab Rasyid sambil menarikku ke ranjang.

Akhirnya aku mengalah. Malam ini kami tidur seranjang. Terasa aneh tapi kenapa hatiku begitu tenang.








Cinta Bugenvil 

          

Selamat pagi

Maaf aku tidak membangunkanmu
Karena tidurmu begitu manis
Aku harus berangkat pagi karena ada yang harus aku kerjakan
Maaf untuk sementara ini aku belum bisa cuti
Karena banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan
Sekali lagi maafkan aku karena tidak bisa menemanimu

I love you
Rasyid

Rasyid menuliskannya pada sepucuk kertas di atasnya ia taruh setangkai bunga bugenvil ungu. kutemukan di meja rias setelah aku bangun pagi ini. Tapi kenapa hatiku seperti kecewa? bukan harusnya aku senang. Hati ini tidak bisa berbohong ntah kenapa aku merindukan sosoknya? Apa aku mulai…ah tidak mungkin, tidak secepat ini.

Hari berikutnya kutemukan surat dari Rasyid lagi….dan lagi terus setiap hari, dan selalu setangkai bugenvil menyertainya. Setiap kata-katanya begitu romantis. Jujur terlena ku di buatnya. Menjadi penyemangat setiap aku bangun dari tidur pagiku. Yang diam-diam aku menunggunya. Aku tidak menyangka Rasyid yang seorang angkatan, seorang perwira yang terbiasa dengan kedisiplinan dan kekerasan bisa seromantis itu. Dia juga begitu pandai memainkan gitar. Suaranya begitu merdu walaupun tak semerdu penyanyi kawakan. Diam –diam aku jadi pengemarnya. Lagu favoritnya adalah Nyanyian Rindu Iwan Fals. Ntah kenapa dia begitu menghayati bila menyanyikan lagu ini?

Nyanyian Rindu

Tolong rasakan ungkapan hati
Rasa saling memberi
Agar makin erat hati kita
Jalani kisah yang ada

Ku tak pernah merasa jemu
Jika kau slalu di sampingku
Begitu nyanyian rinduku
Terserah apa katamu...

Rambutmu... matamu
Bibirmu... kurindu
Senyummu... Candamu...
Tawamu... kurindu

Beri aku waktu sedetik lagi
Menatap wajahmu
Esok, hari ini atau nanti
Mungkin tak kembali

Aku sendiri karena  setiap hari mendengar lagu ini. Jadi ikut suka, padahal Iwan Fals adalah bukan tipe penyanyi favoritku. Sampai-sampai tanpa sepengetahuan Rasyid aku bluetooth dari hpnya. Rasyid telah merubah hidupku. Hariku jadi penuh warna dibuatnya. Setiap hari begitu istimewa bersamanya. Begitu hampa jika jauh darinya. Tapi  ntah kenapa aku tidak ingin Rasyid mengetahui semua ini? Bagi Rasyid aku adalah tetap Arumi yang dingin yang tidak pernah tahu kata cinta.

‘Waaah, Romantis banget Rasyid, Rum. Kamu dikasih bunga setiap
hari,” celetuk Rani dengan wajah berseri-seri

“Saluut! Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu.”

“Ah nggak secepat itu,” jawabku

“Kamu nggak usah mengelak, aku kenal kamu Rum.”

“Sok tahu,” sambil kucubit pipi Rani

“Tapi kok bunga bugenvil yang diberikan kepadamu, bukan mawar, melati atau lainnya.”

“Ya mungkin cuma bunga itu yang ada di pekaranganku.”

“Oh betul juga, tapikan bugenvil menurut kepercayaan orang Jawa bisa bawa sial lho.”

“Aku tahu, tapi itu kan kalo di tanam di depan rumah.

“Aku kan nggak menanamnya di depan rumah  hanya di samping dan di belakang.

 “Kamu tahu nggak bugenvil itu apa?”

“Bunga,” jawabku polos

“Bukan itu, bugenvil itu mempunyai arti Satrio Wirang”

“Satrio Wirang, baru dengar,” jawabku sambil mengerutkan dahi

“Satrio Wirang itu identik dengan bencana, sering disalahkan walaupun dia berbuat baik. Dialah orangnya yang sering ditegur oleh pimpinan, mandor, maupun majikan. Walaupun kesalahan itu bukan yang membuatnya. Kelebihannya adalah dia pandai bicara, ramah, dan rajin bekerja. Sebenarnya   wataknya keras dan mudah tersinggung, tetapi cepat pula melupakan kemarahan dan dendam itu. Bahkan dia terkadang dapat tersenyum sendiri, karena mengalihkan, kekesalan hatinya yang sudah terbiasa dengan cemoohan orang. Sering kehilangan barang miliknya, sering bermusuhan dan sering mendapat celaka atau difitnah. Tetapi dapat mencapai bahagia setelah dia menyadari keadaannya. Dapat mengarahkan nasibnya itu untuk sesuatu yang positif dalam hidupnya,” jelas Rani

“Tahu banget kamu”

“Ya iyalah orang lihat mbah Google,” sambil menunjuk ke Hpnya.

“Itu kan hanya mitos, Ran. Sebagai orang muslim yang beriman kita nggak boleh percaya hal seperti itu.”

 “Kasian kan bunga bugenvil yang cantik itu dikatakan pembawa sial.”

 Aku sendiri tidak ingin mempermasalahkan bunga pemberian Rasyid. Bagiku bunga apapun selama itu dia yang memberikan akan tetap istimewa.

        Sebenarnya hari ini adalah hari libur, tapi Rasyid harus tetap masuk dengan alasan mau latihan untuk persiapan HUT TNI. Dia juga bilang akan mendapat cuti jika acara ini telah terlewati. Akhir-akhir ini dia sangat sibuk.

“Nduk, hari ini Rasyid nggak libur,” tanya Ibuku

“Nggak Bu, sibuk untuk persiapan HUT TNI”

“Kasihan Rasyid, setiap hari harus pulang malam kemudian paginya harus berangkat lagi, hari libur tetap masuk. Apa nggak capek?”

“Namanya juga kewajiban Bu,” jawabku singkat

Ibu hanya membalas dengan anggukan, namun tiba-tiba tubuh ini seperti bergoyang lampu di atas pun berayun-ayun. Semakin keras sampai aku harus mencari pegangan.

“Gempa Bu! Ayo kita keluar,” sambil menarik Ibu.

Ternyata semua warga telah berhamburan keluar. Untunglah ini hanya berlangsung sekitar satu menit. Setelah semuanya aman kami kembali kedalam rumah.

           Setelah melihat keadaan di rumah baik-baik saja , Ibu mengunjungi tetangga melihat apakah ada rumah yang rusak atau mungkin ada korban. Memang gempa sering terjadi di daerah kami. Katanya sih daerah kami terletak pada patahan atau lempeng yang selalu bergerak, tapi gempa kali ini agak berbeda, lebih besar dari biasanya. Beberapa menit kemudian di televisi disiarkan gempa yang baru terjadi berskala sekitar 7 skala richter.

“Rum, kata orang–orang yang terparah terkena dampak gempa adalah daerah Solo, dekat tempat Rasyid bekerja. Ibu jadi khawatir, semoga Allah selalu melindungi Rasyid,” jelas Ibu sambil tergopoh-gopoh dari rumah tetangga.

Sebenarnya sebelum Ibu memberi tahu, Rasyid adalah orang pertama yang aku pikirkan. Bagaimana keadaannya di sana? tapi enggan rasanya bertanya atau sekedar meneleponnya.

“Haloo, Walaikum salam,” terdengar suara Ibu menjawab telepon

“ Bu Suroso ingin bicara sama kamu, Rum,” sambil memberikan hpnya

“Rum, Ibu khawatir sama Rasyid, dari tadi Ibu telepon tidak diangkat.
Kamu sudah coba telepon belum? Soalnya di daerah tempatnya berkerja paling parah terkena gempa. Tadi Ibu sudah minta Yahya untuk mencari Rasyid, tapi dia kan dokter dalam keadaan seperti ini dia jadi sangat sibuk. Kalo kamu bersedia, tolong susul Rasyid ketempat kerjanya Nduk,” suara Bu Suroso terdengar sangat mencemaskan anaknya.

Aku termenung. Jangan Ibu, aku juga sangat mengkhawatirkan dia.

“Iya bu nanti saya usahakan,” jawabku

“Makasih ya Nduk, Nanti kalo sudah ketemu Rasyid langsung kabarin Ibu ya.”

            Aku menghela napas sejenak, kebetulan tadi pagi Rasyid pergi dengan mengunakan mobil Jeepnya, jadi aku bisa pergi dengan  motor. Tapi aku kan nggak punya SIM, ah situasi begini mana ada polisi.

            Tanpa pikir panjang aku berpamitan kepada Ibu. Ibu menyuruhku berhati-hati, karena aku sudah lama sekali tidak naik motor. Dengan dipenuhi rasa khawatir akan kondisi  Rasyid kupacu sepeda motor dengan hati-hati. Untung jalan agak lengang mungkin gempa  menyebabkan orang–orang enggan keluar. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit akhirnya sampai juga aku di kota. Kulihat banyak rumah dan bangunan yang rusak, bahkan ada yang rata dengan tanah. Aku memang belum pernah ke tempat kerja Rasyid, tapi aku sangat mengenal daerah ini, karena 3 tahun aku bersekolah SMA di sini. Tempat  kerja Rasyid aku tahu persis. Lapangan dengan beberapa pesawat di dalamnya gampang dikenali bahwa tempat itu milik TNI AU.

              Sesampainya di sana setelah memarkir motor di tempat yang aman. Aku mulai mencari Rasyid, semua orang begitu sibuk berlalu lalang kesana kemari, dari kejauhan terdengar suara ambulan tiada henti. Beberapa kali aku melihat orang yang berseragam seperti Rasyid sedang dipapah temannya karena terluka, adapula yang digotong dengan tandu karena luka parah, beberapa diantaranya berteriak kesakitan. Sementara di sekitar tempat ini banyak bangunan yang roboh, semua kondisi ini persis seperti habis perang. Melihat semua itu rasa cemas dihatiku semakin menjadi. Rasyid dimana kamu? Ya Allah lindungilah dia? Dari kejauhan kulihat ada kerumunan, sepertinya ada seseorang yang tertimpa sesuatu.

“Pak, itu ada apa?” tanyaku kepada seseorang yang berdiri di sampingku

“Oh, ada orang yang tertimpa papan reklame mba, kasian dia masih hidup, tapi papannya susah diangkat,” jelasnya

Pelan-pelan aku mendekati kerumunan itu. Hatiku lega bercampur bahagia. Di sana kulihat Rasyid dalam kondisi selamat dan sehat walaupun seragamnya yang biasa rapi menjadi lusuh dan kotor. Dia dan beberapa orang lainnya sedang berusaha menolong orang yang tertimpa papan reklame. Alhamdulillah kamu baik-baik saja? Batinku

Ku urungkan niatku untuk menghampirinya. Melihatnya selamat bagiku sudah cukup, aku tidak ingin mengganggunya. Kuputuskan untuk langsung pulang. Sesampainya  di rumah aku langsung memberi kabar kepada Bu Suroso jika Rasyid baik-baik saja.

Kenapa hari ini aku begitu mencemaskanmu?

Begitu takut akan kehilanganmu?

Apakah ini pertanda aku mulai mencintaimu?




bersambung......