Cinta Bugenvile

Rabu, 30 April 2014

Maafkan Ibu



Maafkan Ibu …



            Kulepaskan pandangan ke segala penjuru, daun-daun masih basah dan tanah pun masih tergenang air bekas hujan lebat siang tadi. Ada pemandangan yang tidak bisa hari ini, kenapa banyak ikan-ikan kecil tergeletak di teras depan, padahal rumahku jauh dari sungai ataupun selokan.  Beberapa hari lalu Mang Udin tetanggaku memang membuat kolam kecil, tapi kolam kecil itu kan diberi kawat, tidak mungkin ikan-ikan itu dari sana.

“Mba ikan dari mana  ini? tegur adiku.
“Gak tau, siapa yang iseng buang ikan disini ya”
“Masih banyak yang hidup mba, kita masukin aja kekolamnya Mang Udin.” Ajak adikku
“Oh ya udah kalo begitu..kasian juga ikannya.”  

            Lebaran sudah lewat 3 hari tetapi suasananya masih terasa, masih banyak tetanggaku yang dikunjungi oleh sanak saudaranya. Sedangkan aku sendiri  dari lebaran pertama sampai kemarin tidak ada habisnya mengunjungi sanak saudaraku. Untuk hari ini kuputuskan istirahat di rumah mengingat usia kandunganku 6 bulan dan perutku yang semakin besar.
               Ini  adalah kehamilan keduaku, kehamilan yang diluar rencana , anak pertamaku masih berusia 17 bulan, suamiku tadinya tidak senang, tapi lama kelamaan ia menerimanya juga, namun tetap saja  sikapnya berbeda dengan waktu baru mengetahui aku hamil anak pertama kami. Pada kehamilan kedua ini suamiku tidak begitu perhatian, bahkan untuk sekedar membelai atau menyapa perutku saja tidak pernah.
               Sekarang  rumah kami pisah dengan orang tua,  jadi segala pekerjaan rumah tangga aku kerjakan sendiri. Padahal selain itu aku juga harus mengajar dan mengurus putraku, semenjak pindah rumah aku belum menemukan pengasuh jadi  harus membawa serta anakku kesekolah tempat aku bekerja, Mungkin karena terlalu kelelahan  atau ada  penyebab lain akhir-akhir perutku sering mengalami kontraksi.  
              Entah kenapa sejak tagi tadi perut ini tidak beres, terasa berbeda dan terkadang agak sakit. Tadinya aku berusaha untuk tidak merasakannya tapi lama kelamaan semakin sakit, namun aku berusaha menutupinya takut membuat suamiku khawatir. Toh memang hal ini biasa dialami oleh ibu hamil. Alhamdullilah menjelang sore sakitnya mulai hilang.

                Malam ini perutku mengalami kontraksi lagi, aku kira kontraksi seperti biasanya yang lama kelamaan akan hilang. Tapi sudah hampir dua jam sejak isya tadi rasa sakit ini belum hilang juga.

“Kenapa bu?  Tanya suami yang terbangun mendengar rintihanku.
“Gak tau yah, dari tadi kok perutku sakit banget..gak biasanya seperti ini.”
“Ya sudah kita ke klinik saja biasanya jam segini masih buka.”  ajak suamiku sambil melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 10 malam.
                  Dengan mengendarai sepeda motor kami ke klinik, rasa sakit perutku semakin menjadi, rasanya gak karuan sakit luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa berjalan tegak lagi karena harus menahan sakit.

“Maaf  istri bapak harus dibawa kerumah sakit, kami tidak sanggup menangani kejadian seperti ini, karena kandungan ibu masih 6 bulan dan kemungkinan akan melahirkan, jika dirumah sakit peralatannya lebih lengkap.”  Bidan klinik memberi penjelasan.
 Tidak percaya rasanya mendengar penjelasan bidan jika aku akan melahirkan, kandunganku masih 6 bulan tidak mungkin,  apa jadinya nanti bayiku.
“Bu bidan aku belum siap melahirkan!” Aku berteriak tidak percaya.
“Tenang bu, di rumah sakit nanti penanganannya lebih baik kok."  bu bidan mencoba menenangkanku.
             Bunyi sirine membelah kesunyian malam, karena sudah mendekati tengah malam jalanan mulai sepi sehingga mobil ambulans yang mengantarku lebih leluasa melaju menuju rumah sakit, didalam ambulans aku sudak tidak dapat menahan lagi rasa sakit. Aku  berteriak dan berontak seperti orang kesurupan, tanpa sadar aku menggigit, mencakar suamiku.
“Istighfar bu.” Suamiku.
“Astaghfirullahal’adzim..” ku
  sebut sebisaku.
                Tanpa terasa aku sudah berada di ruang UDG rumah sakit. Dokter, bidan, suster silih berganti memberi pertolongan padaku. Tepat pukul satu malam lahirlah putriku, dengan lahir normal. Sayup-sayup terdengar tangisannya, dari kejauhan kulihat ia dibalut kain berwarna merah jambu,  dihidungnya terdapat selang yang terhubung dengan tabung oksigen. Bayi mungil kurang bulan itu lahir dengan berat hanya 1,3 kg  hanya sebesar botol.
“Bagaimana anak saya bu.?” Tanyaku kepada bidan.
“Alhamdullilah bu ..selamat..seorang putri”
          Lega rasanya hati ini. Setelah peristiwa yang aku alami tadi, rasa sakit yang amat sangat tidak percaya rasanya aku harus melahirkan di usia kandunganku 6 bulan dan selamat.
                  Setelah pulih aku dipindahkan kekamar perawatan, aku dirawat di kamar kelas 3 di sana terdapat  4 ibu–ibu yang usai melahirkan juga, masing-masing tangan kami terdapat gelang plastik, ada yang berwarna biru ada yang berwarna merah muda, gelang berwarna merah muda menandakan bayi yang dilahirkan perempuan dan biru untuk laki-laki
                Setelah seharian di kamar perawatan aku heran kenapa bayiku belum diantar seperti ibu–ibu yang lain. Ada beberapa ibu yang sudah menyusui anaknya. Tapi bayiku sejak semalam belum menyusu. Dimana dia? kenapa tidak segera dibawa kesini? Baik-baikkah dia? Pertanyaan-pertanyan ini terus berkecamuk dalam pikiranku, sementara suamiku masih tertidur karena lelah tidak tidur semalaman.
“Suster kenapa bayiku tidak dibawa kesini?” Tanyaku kepada suster yang bertugas.
“Bayi ibu berbeda..bayi ibu kan lahir prematur jadi harus di inkubator di ruang Perinatology.
Jika  ingin bertemu dengan bayi ibu silahkan kesana nanti saya antar.” Jelas perawat itu dengan ramah.
             Ingin rasanya marah kenapa aku harus dipisahkan dengan bayiku, anak kandungku sendiri. Tapi mungkin ini sudah prosedur rumah sakit mau tidak mau aku harus menurutinya.

              Perinatology, ruangan itu terletak dilantai bawah agak terpisah dengan bangunan utama rumah sakit. Di dalamnya banyak terdapat kotak-kotak kaca seperti aquarium yang biasa disebut inkubator dan dipenuhi dengan aneka macam alat kedokteran.  Ada  4 bayi yang ada di ruangan ini salah satunya kembar. Dan ukuran tubuhnya kecil-kecil, di urutan paling ujung ada seorang bayi mungil yang sedang tertidur, bayi ini ukurannya paling kecil dari pada bayi yang lain. kaki tangannya terdapat infusan sedangkan dihidungnya terdapat selang yang terhubung dengan tabung oksigen. Tubuhnya  sangat kecil sehingga pampersnya terlihat kebesaran. Kulitnya keriput menandakan betapa rapuhnya dia.  Dan  setelah melihat papan namanya tertulis ‘Bayi Ny. Eka”. Itu bayiku. Aku tertegun, tak terasa air mataku menetes. Dari kaca berukuran 1 X 2 M aku melihat bayiku tergelatak tak berdaya. Ingin sekali aku memelukknya. Tapi bayiku belum boleh dikunjungi bahkan aku ibunya sekalipun. aku hanya bisa melihatnya dari kaca.
              Satu bulan telah berlalu, Selama itu pula setiap dua jam sekali aku berkunjung kerumah sakit mengantar sebotol ASI untuk bayi mungilku. Menatapnya di kaca dan sekedar membisikkan kepadanya betapa aku sangat sayang kepadanya.
“Bagaimana keadaan putri saya dok?” Tanya ku kepada dokter yang bertugas menangani bayiku. Setiap seminggu sekali aku diperbolehkan untuk bertemu dokter untuk sekedar menanyakan keadaan putriku.
“Untuk keseluruhan baik, bayi ibu sudah menunjukkan perkembangan, berat badannya sudah naik. Namun ada berita yang tidak  mengenakkan yang harus ibu dengar.” dokter itu menjelaskan.
“Apa dok? Apa pun itu saya siap dok?” Jawabku yakin disampur penasaran
“Anak ibu kemungkinan terkena ROP.”
“Retinopathy of prematurity (ROP) adalah kelainan pada mata yang disebabkan adanya gangguan perkembangan retina (selaput syaraf yang melapisi dinding dalam bola mata) pada bayi prematur.”
“Maksudnya dok,  saya masih belum mengerti?” Aku meminta penjelasan lebih lanjut.
“ROP menyebabkan kebutaan bagi bayi ibu. Kemungkinan bayi ibu akan buta dari lahir.” Pelan tapi terdengar sangat jelas.
Deg..jantungku terasa terhenti, kenyataan pahit apa lagi ini, tangisku langsung meledak suamiku hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.
            Percaya atau tidak inilah kehidupan yang harus aku jalanani mempunyai seorang anak tuna netra, seorang ibu yang harus menerima kenyataan bahwa putri  tercintanya tidak akan pernah melihat wajah ibu yang melahirkannya.
Maafkan ibu…..maafkan ibu anakku….maafkan ibu yang melahirkanmu tidak sempurna.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar