Maafkan Ibu …
Kulepaskan
pandangan ke segala penjuru, daun-daun masih basah dan tanah pun masih tergenang
air bekas hujan lebat siang tadi. Ada pemandangan yang tidak bisa hari ini,
kenapa banyak ikan-ikan kecil tergeletak di teras depan, padahal rumahku jauh
dari sungai ataupun selokan. Beberapa
hari lalu Mang Udin tetanggaku memang membuat kolam kecil, tapi kolam kecil itu
kan diberi kawat, tidak mungkin ikan-ikan itu dari sana.
“Mba
ikan dari mana ini? tegur adiku.
“Gak
tau, siapa yang iseng buang ikan disini ya”
“Masih
banyak yang hidup mba, kita masukin aja kekolamnya Mang Udin.” Ajak adikku
“Oh
ya udah kalo begitu..kasian juga ikannya.”
Lebaran sudah lewat 3 hari tetapi suasananya masih terasa, masih banyak
tetanggaku yang dikunjungi oleh sanak saudaranya. Sedangkan aku sendiri dari lebaran pertama sampai kemarin tidak ada
habisnya mengunjungi sanak saudaraku. Untuk hari ini kuputuskan istirahat di rumah
mengingat usia kandunganku 6 bulan dan perutku yang semakin besar.
Ini adalah kehamilan keduaku, kehamilan yang
diluar rencana , anak pertamaku masih berusia 17 bulan, suamiku tadinya tidak
senang, tapi lama kelamaan ia menerimanya juga, namun tetap saja sikapnya berbeda dengan waktu baru mengetahui
aku hamil anak pertama kami. Pada kehamilan kedua ini suamiku tidak begitu
perhatian, bahkan untuk sekedar membelai atau menyapa perutku saja tidak
pernah.
Sekarang rumah kami pisah dengan orang tua, jadi segala pekerjaan rumah tangga aku
kerjakan sendiri. Padahal selain itu aku juga harus mengajar dan mengurus
putraku, semenjak pindah rumah aku belum menemukan pengasuh jadi harus membawa serta anakku kesekolah tempat
aku bekerja, Mungkin karena terlalu kelelahan
atau ada penyebab lain
akhir-akhir perutku sering mengalami kontraksi.
Entah kenapa sejak tagi tadi
perut ini tidak beres, terasa berbeda dan terkadang agak sakit. Tadinya aku
berusaha untuk tidak merasakannya tapi lama kelamaan semakin sakit, namun aku
berusaha menutupinya takut membuat suamiku khawatir. Toh memang hal ini biasa
dialami oleh ibu hamil. Alhamdullilah menjelang sore sakitnya mulai hilang.
Malam ini perutku mengalami
kontraksi lagi, aku kira kontraksi seperti biasanya yang lama kelamaan akan
hilang. Tapi sudah hampir dua jam sejak isya tadi rasa sakit ini belum hilang
juga.
“Kenapa
bu? Tanya suami yang terbangun mendengar
rintihanku.
“Gak
tau yah, dari tadi kok perutku sakit banget..gak biasanya seperti ini.”
“Ya
sudah kita ke klinik saja biasanya jam segini masih buka.” ajak suamiku sambil melihat ke arah jam yang
menunjukkan pukul 10 malam.
Dengan mengendarai sepeda motor
kami ke klinik, rasa sakit perutku semakin menjadi, rasanya gak karuan sakit
luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa berjalan tegak lagi karena harus
menahan sakit.
“Maaf istri bapak harus dibawa kerumah sakit, kami
tidak sanggup menangani kejadian seperti ini, karena kandungan ibu masih 6
bulan dan kemungkinan akan melahirkan, jika dirumah sakit peralatannya lebih
lengkap.” Bidan klinik memberi
penjelasan.
Tidak percaya rasanya mendengar penjelasan
bidan jika aku akan melahirkan, kandunganku masih 6 bulan tidak mungkin, apa jadinya nanti bayiku.
“Bu
bidan aku belum siap melahirkan!” Aku berteriak tidak percaya.
“Tenang
bu, di rumah sakit nanti penanganannya lebih baik kok." bu bidan mencoba menenangkanku.
Bunyi sirine membelah kesunyian
malam, karena sudah mendekati tengah malam jalanan mulai sepi sehingga mobil
ambulans yang mengantarku lebih leluasa melaju menuju rumah sakit, didalam
ambulans aku sudak tidak dapat menahan lagi rasa sakit. Aku berteriak dan berontak seperti orang
kesurupan, tanpa sadar aku menggigit, mencakar suamiku.
“Istighfar
bu.” Suamiku.
“Astaghfirullahal’adzim..”
ku
sebut
sebisaku.
Tanpa terasa aku sudah berada
di ruang UDG rumah sakit. Dokter, bidan, suster silih berganti memberi
pertolongan padaku. Tepat pukul satu malam lahirlah putriku, dengan lahir
normal. Sayup-sayup terdengar tangisannya, dari kejauhan kulihat ia dibalut
kain berwarna merah jambu, dihidungnya
terdapat selang yang terhubung dengan tabung oksigen. Bayi mungil kurang bulan
itu lahir dengan berat hanya 1,3 kg
hanya sebesar botol.
“Bagaimana
anak saya bu.?” Tanyaku kepada bidan.
“Alhamdullilah
bu ..selamat..seorang putri”
Lega rasanya hati ini. Setelah
peristiwa yang aku alami tadi, rasa sakit yang amat sangat tidak percaya
rasanya aku harus melahirkan di usia kandunganku 6 bulan dan selamat.
Setelah pulih aku dipindahkan
kekamar perawatan, aku dirawat di kamar kelas 3 di sana terdapat 4 ibu–ibu yang usai melahirkan juga,
masing-masing tangan kami terdapat gelang plastik, ada yang berwarna biru ada
yang berwarna merah muda, gelang berwarna merah muda menandakan bayi yang
dilahirkan perempuan dan biru untuk laki-laki
Setelah seharian di kamar
perawatan aku heran kenapa bayiku belum diantar seperti ibu–ibu yang lain. Ada
beberapa ibu yang sudah menyusui anaknya. Tapi bayiku sejak semalam belum
menyusu. Dimana dia? kenapa tidak segera dibawa kesini? Baik-baikkah dia?
Pertanyaan-pertanyan ini terus berkecamuk dalam pikiranku, sementara suamiku
masih tertidur karena lelah tidak tidur semalaman.
“Suster
kenapa bayiku tidak dibawa kesini?” Tanyaku kepada suster yang bertugas.
“Bayi
ibu berbeda..bayi ibu kan lahir prematur jadi harus di inkubator di ruang
Perinatology.
Jika ingin bertemu dengan bayi ibu silahkan kesana
nanti saya antar.” Jelas perawat itu dengan ramah.
Ingin rasanya marah kenapa aku
harus dipisahkan dengan bayiku, anak kandungku sendiri. Tapi mungkin ini sudah
prosedur rumah sakit mau tidak mau aku harus menurutinya.
Perinatology, ruangan itu
terletak dilantai bawah agak terpisah dengan bangunan utama rumah sakit. Di
dalamnya banyak terdapat kotak-kotak kaca seperti aquarium yang biasa disebut
inkubator dan dipenuhi dengan aneka macam alat kedokteran. Ada 4
bayi yang ada di ruangan ini salah satunya kembar. Dan ukuran tubuhnya
kecil-kecil, di urutan paling ujung ada seorang bayi mungil yang sedang
tertidur, bayi ini ukurannya paling kecil dari pada bayi yang lain. kaki
tangannya terdapat infusan sedangkan dihidungnya terdapat selang yang terhubung
dengan tabung oksigen. Tubuhnya sangat
kecil sehingga pampersnya terlihat kebesaran. Kulitnya keriput menandakan
betapa rapuhnya dia. Dan setelah melihat papan namanya tertulis ‘Bayi
Ny. Eka”. Itu bayiku. Aku tertegun, tak terasa air mataku menetes. Dari kaca
berukuran 1 X 2 M aku melihat bayiku tergelatak tak berdaya. Ingin sekali aku
memelukknya. Tapi bayiku belum boleh dikunjungi bahkan aku ibunya sekalipun.
aku hanya bisa melihatnya dari kaca.
Satu bulan telah berlalu, Selama
itu pula setiap dua jam sekali aku berkunjung kerumah sakit mengantar sebotol
ASI untuk bayi mungilku. Menatapnya di kaca dan sekedar membisikkan kepadanya
betapa aku sangat sayang kepadanya.
“Bagaimana
keadaan putri saya dok?” Tanya ku kepada dokter yang bertugas menangani bayiku.
Setiap seminggu sekali aku diperbolehkan untuk bertemu dokter untuk sekedar
menanyakan keadaan putriku.
“Untuk
keseluruhan baik, bayi ibu sudah menunjukkan perkembangan, berat badannya sudah
naik. Namun ada berita yang tidak mengenakkan
yang harus ibu dengar.” dokter itu menjelaskan.
“Apa
dok? Apa pun itu saya siap dok?” Jawabku yakin disampur penasaran
“Anak
ibu kemungkinan terkena ROP.”
“Retinopathy of prematurity (ROP)
adalah kelainan pada mata yang disebabkan adanya gangguan perkembangan retina
(selaput syaraf yang melapisi dinding dalam bola mata) pada bayi prematur.”
“Maksudnya
dok, saya masih belum mengerti?” Aku
meminta penjelasan lebih lanjut.
“ROP
menyebabkan kebutaan bagi bayi ibu. Kemungkinan bayi ibu akan buta dari lahir.”
Pelan tapi terdengar sangat jelas.
Deg..jantungku
terasa terhenti, kenyataan pahit apa lagi ini, tangisku langsung meledak
suamiku hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.
Percaya atau tidak inilah kehidupan
yang harus aku jalanani mempunyai seorang anak tuna netra, seorang ibu yang
harus menerima kenyataan bahwa putri
tercintanya tidak akan pernah melihat wajah ibu yang melahirkannya.
Maafkan
ibu…..maafkan ibu anakku….maafkan ibu yang melahirkanmu tidak sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar