Cinta Bugenvile

Jumat, 02 Mei 2014

Perjuangan Meraih Tiga Huruf…SPd






“ Apa katamu! Kamu mau kuliah! Mikir jadi orang, kamu tuh hanya anak tukang ojek sama pedagang jamu gendong! Uang dari mana?” Itulah kata-kata bapakku ketika aku mengutarakan keinginanku untuk kuliah. 

Mendengar omelan bapak, aku tidak bisa menjawab apa-apa , diam adalah pilihan terbaik. Memang benar apa kata bapak,  aku hanya anak tukang ojek dan pedagang jamu gendong. Tapi aku adalah seorang yang keras kepala semua itu  bukan halangan untuk meraih cita-citaku.

Sejak kecil aku sudah mempunyai cita-cita. Sederhana tidak muluk-muluk aku cuma ingin menjadi guru. Sewaktu SMU cita-citaku ini semakin kuat setelah aku mendengar ucapan guru kimiaku.
“ Menjadi guru adalah pekerjaan yang paling menyenangkan dan tidak membosankan, karena setiap hari kita akan menemukan hal-hal baru bersama murid kita.”
Seperti kataku tadi,  aku orangnya keras kepala,  tidak pantang menyerah begitu saja terhadap keadaan. Aku bertekad akan menbiayai kuliahku sendiri, ku putuskan selepas lulus SMU untuk bekerja dahulu mengumpulkan uang untuk kuliah.

Dua tahun bekerja ternyata uang tidak terkumpul juga, tapi kapan lagi aku harus menunda untuk kuliah. Maka kuputuskan untuk nekat. Aku percaya jika kita punya niat pasti Allah akan memberi jalan. Dengan bekal duaratus ribu aku mendaftar ke salah satu perguruan tinggi negeri, dan mengambil jalur khusus. Aku harus bersaing dengan 540 siswa sedangkan yang diterima hanya 120  yang sebagian besar  mereka adalah lulusan baru yang otaknya masih segar dalam pelajaran. Sedangkan aku sudah lulus dua tahun pasti semuanya sudah lupa. Karena tesnya kemungkinan adalah pelajaran SMU dulu,  aku mulai membuka bukuku lagi yang selama 2 tahun aku simpan. Aku tetap bersemangat walau aku tidak tahu dari mana nanti aku membayar uang pangkal.
           
Tiba hari pegumumuman. Pagi-pagi sekali aku sudah datang tidak sabar rasanya apakah aku diterima atau tidak. Seandainya aku tidak diterima aku putuskan untuk menutup mimpi untuk kuliah, karena cuma di tempat ini aku bisa kuliah karena biayanya murah. 
Aku sangat senang karena namaku ternyata tercantum dalam pegumuman seleksi. Aku diterima, tapi bagaimana aku harus minta izin kepada kedua orangtuaku.

“Aku lulus tes masuk universitas negeri, trus gimana bu aku boleh kuliah gak?” Tanyaku kepada ibu, jika ibu sudah memberi izin urusan bapakku nomor dua.
“ Ibu  setuju ya.. jika aku kuliah? Aku sambil kerja kok bu.” Tanyaku menyakinkan
“Terserah kamu,  kalo ada uang silahkan kuliah? jangan buat susah orang tua?’’ Jawab ibu agak murung.
“Tapi bu……….uang pangkalnya gimana? Aku gak punya uang?”
“Gimana sih mau kuliah kok gak punya uang! Kamu bisanya cuma buat susah orang tua!” Bentak ibuku.
“Berapa memangnya ?”
“2  juta bu…” Jawabku lirih , harapanku ingin kuliah sepertinya cuma mimpi. Pikirku dalam hati
“Ibu gak punya! Uang dari mana sebanyak itu!
Aku menghela napas, sudahlah sepertinya nasibku memang sudah seperti ini. Kuliah cuma impian.
“Pinjem Bude Lastri sana? Pinjem sendiri!”
Hah… pinjem bude Lastri? Aku seperti tanaman yang layu menjadi segar kembali. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung ke rumah Bude Lastri, demi kuliah urat malu ini harus diputus dahulu. Baru pertama kalinya aku meminjam uang ke orang lain apalagi jumlahnya besar. Malu , gengsi, takut itu sudah pasti. Alhamdullilah Bude Lastri orangnya baik karena niatku buat kuliah akhirnya aku diberi pinjaman. Horeee… Sorakku dalam hati.
Pada waktu kuliah berjalan  kendala yang aku hadapi lebih banyak salah satunya tekanan dari orang tuaku. Terutama bapakku. Bapakku tetap tidak memberi rido untuk aku kuliah.
“Malu bapak sama sesama tukang ojek,  bapak dibilang sok, belagu, orang miskin aja pake mau nguliahin anaknya paling juga tempat kuliahnya yang abal-abal, ujung-ujungnya pengangguran! mending kamu kursus jahit sudah jelas hasilnya!”  Omel bapakku suatu hari.
Ada saja celaan yang aku dengar dari orang tua,  tetangga, saudara bahkan temanku sendiri.
“Ngapain sih kamu kuliah, paling cuma buat gengsi  doang biar dibilang gaul…kuliah di tempat gak bermutu cuma D2 lagi,  paling lulus jadi pengangguran.” Inilah salah satu celaan temanku yang paling menyakitkan.
Menangis. Sudah pasti lah, sungguh kejam orang di sekitarku menilai aku kuliah sekedar untuk iseng,  ingin rasanya aku teriak.  “Haloo semua… aku ini kuliah di UNJ salah satu universitas favorit di Jakarta. Untuk masuk kesana saja kita harus berjuang keras . gimana mau dibilang iseng! trus abal abalnya dimana?”

Kendala yang paling utama adalah uang . Semester satu dan dua alhamdulilah aku masih bekerja. Kuliah pagi  dari jam 08.00 sampai jam 13.00 kemudian dilanjutkan bekerja di salah satu supermarket di Jakarta pulang pukul 22.00 sampai rumah sudah pukul 24.00. Pagi berangkat lagi dan seterusnya. Jangan dibayangkan betapa capeknya, tapi sekali lagi ini semua aku lakukan demi cita-citaku.
Tapi ternyata semuanya tidak berjalan mulus, sewaktu semester tiga aku dipecat dari pekerjaan, karena sering terlambat. Hal  ini terjadi karena jam kuliahku mulai tidak teratur. Untuk melanjutkan kuliah aku mencoba bekerja menjadi guru les di tempat les bergengsi, tapi gajinya tak seberapa hanya cukup buat ongkos.
Melihat kegigihanku untuk kuliah hati ibuku mulai melunak, dukungan dan semangat selalu ia berikan. Bahkan di saat aku sedang terpuruk ketika aku harus di pecat untuk kedua kalinya.
“Sudahlah kamu gak usah kerja lagi, biarkan ibu cari uang  untuk kuliahmu, kamu fokus saja kuliah. Tapi kamu harus janji kepada ibu, suatu hari nanti kamu harus bisa mengangkat derajat orang tua,  buat ibu bangga, kamu harus berhasil.”  Ibuku mengucapkannya sambil menangis.
Perkataan ibuku adalah cambuk semangat untukku. Aku berjanji tidak akan membuat ibu malu, akan ku buat ibu bangga mempunyai anak seperti aku.
Dengan uang saku yang serba pas-pasan aku berusaha menyelesaikan kuliahku. Tiap hari aku diberi uang 5 ribu oleh ibuku. Tapi uang tersebut hanya pas buat ongkos, karena jarak rumah ke tempat kuliahku sangat jauh aku harus naik 2 kali angkot ditambah  kereta api listrik. kadang-kadang untuk memperoleh beberapa ribu rupiah aku harus kejar kejaran dengan masinis karena tidak membayar tiket kereta. Uangnya itu aku kumpulkan untuk digunakan ke rental jika ada tugas kuliah. Jangan mimpi untuk jajan atau makan enak di kampus itu hanya aku bisa lakukan jika ada teman yang berbaik hati mentraktir.
            Dua setengah tahun kuliah  akhirnya lulus juga walaupun hanya D2 tetapi aku sangat bersyukur bisa menyelesaikannya. Selang sehari di wisuda aku mendapat tawaran mengajar. Aku senang sekali tetapi sekali lagi bapakku tidak mendukung.
“Kerja apaan gaji cuma 400 ribu, buat apa kuliah capek-capek,  kalau dapat gaji buat ongkos saja gak cukup!” hina bapakku.
Tapi sekali lagi ibuku adalah penyelamat, ia sangat bersemangat aku bekerja dan menyarankan  untuk tidak menolak pekerjaan itu dan bersedia menanggung semua beban biaya ongkos sampai aku gajian nanti.
Setahun aku bekerja walau dengan gaji paspasan sedikit demi sedikit aku mengumpulkan uang untuk melanjutkan S1, aku putuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di tempatku dulu,  karena minat menjadi guru semakin banyak jadi biaya di sana semakin mahal. Tidak terjangkau olehku. Jadi aku putuskan untuk kuliah di Universitas Terbuka (UT). Disana lebih murah dan waktunya lebih fleksibel  bisa kerja sambil kuliah.

Di tahun yang sama aku mengambil S1,  aku putuskan untuk menikah. Kuliah sambil menikah ternyata tidak mudah, aku sebagai anak tertua mempunyai beban membiayai adikku yang masih SMU, sedangkan dipihak suami juga sama sebagai anak pertama  harus menanggung beban adiknya juga yang sama-sama SMU. Tapi ternyata Allah Maha Bijaksana dan Maha penolong hambanya, tepatnya setelah sebulan kelahiran anak pertama aku mendapat kabar bahagia, aku   diterima menjadi pegawai negeri. Tentu saja kabar ini sangat membuatku bersuka cita terutama orang tuaku. Akhirnya aku bisa memenuhi janji ibu. Tapi perjuangan belum berakhir, cobaan belum berhenti. Aku belum lulus S1.

Tahun 2010 seharusnya menjadi tahun terakhir aku lulus S1, tapi ternyata Allah berkehendak lain. Di tahun ini anak keduaku lahir. Tapi karena ia lahir belum waktunya jadi bayiku lahir dalam keadaan prematur. Sampai pada akhirnya dokter menyatakan anakku terkena ROP dan menjadi buta. Untuk sejenak aku melupakan mimpiku untuk menyelesaikan kuliah yang sudah di depan mata. Biaya dan tenaga aku fokuskan untuk putri bungsuku.

Sampai akhirnya aku tersadar, aku harus menerima semua ini dengan ikhlas. Dua tahun telah berlalu kucoba untuk menata kembali kehidupanku, langkah pertama adalah menyelesaikan kuliahku. Setelah berusaha akhirnya di tahun 2012 aku bisa menyelesaikan kuliah. Aku telah berhasil  menjadi S1. Butuh proses dan perjuangan yang amat panjang untuk bisa sampai kesana.  Jika orang lain hanya butuh waktu 4 sampai 5 tahun sudah bisa mendapat titel SE, SH, SPd aku butuh waktu 9 tahun (2003-2012) untuk mencapainya. Oleh karena itu aku selalu mengingatkan kepada operator di sekolahku  “Jangan lupa tulis  SPd nya ya!”
 Supaya aku selalu ingat betapa susahnya meraih tiga huruf itu……. SPd.

Tulisan ini aku persembahkan untuk adik-adik di KBM yang ingin melanjutkan kuliah tetapi terkendala biaya atau apapun. Jangan cepat menyerah! selama ada niat pasti Allah memberikan jalan, tetap terus berjuang karena hidup adalah penuh perjuangan.

Oleh Eka yulianti, SPd.
( yang belum berhenti berjuang untuk meraih tiga huruf yang lain …MPd…..Insya Allah) J












Tidak ada komentar:

Posting Komentar