“
Apa katamu! Kamu mau kuliah! Mikir jadi orang, kamu tuh hanya anak tukang ojek
sama pedagang jamu gendong! Uang dari mana?” Itulah kata-kata bapakku ketika
aku mengutarakan keinginanku untuk kuliah.
Mendengar omelan bapak,
aku tidak bisa menjawab apa-apa , diam adalah pilihan terbaik. Memang benar apa
kata bapak, aku hanya anak tukang ojek
dan pedagang jamu gendong. Tapi aku adalah seorang yang keras kepala semua
itu bukan halangan untuk meraih
cita-citaku.
Sejak
kecil aku sudah mempunyai cita-cita. Sederhana tidak muluk-muluk aku cuma ingin
menjadi guru. Sewaktu SMU cita-citaku ini semakin kuat setelah aku mendengar
ucapan guru kimiaku.
“ Menjadi guru adalah
pekerjaan yang paling menyenangkan dan tidak membosankan, karena setiap hari
kita akan menemukan hal-hal baru bersama murid kita.”
Seperti kataku tadi, aku orangnya keras kepala, tidak pantang menyerah begitu saja terhadap
keadaan. Aku bertekad akan menbiayai kuliahku sendiri, ku putuskan selepas
lulus SMU untuk bekerja dahulu mengumpulkan uang untuk kuliah.
Dua
tahun bekerja ternyata uang tidak terkumpul juga, tapi kapan lagi aku harus
menunda untuk kuliah. Maka kuputuskan untuk nekat. Aku percaya jika kita punya
niat pasti Allah akan memberi jalan. Dengan bekal duaratus ribu aku mendaftar
ke salah satu perguruan tinggi negeri, dan mengambil jalur khusus. Aku harus
bersaing dengan 540 siswa sedangkan yang diterima hanya 120 yang sebagian besar mereka adalah lulusan baru yang otaknya masih
segar dalam pelajaran. Sedangkan aku sudah lulus dua tahun pasti semuanya sudah
lupa. Karena tesnya kemungkinan adalah pelajaran SMU dulu, aku mulai membuka bukuku lagi yang selama 2
tahun aku simpan. Aku tetap bersemangat walau aku tidak tahu dari mana nanti
aku membayar uang pangkal.
Tiba
hari pegumumuman. Pagi-pagi sekali aku sudah datang tidak sabar rasanya apakah
aku diterima atau tidak. Seandainya aku tidak diterima aku putuskan untuk
menutup mimpi untuk kuliah, karena cuma di tempat ini aku bisa kuliah karena
biayanya murah.
Aku
sangat senang karena namaku ternyata tercantum dalam pegumuman seleksi. Aku
diterima, tapi bagaimana aku harus minta izin kepada kedua orangtuaku.
“Aku lulus tes masuk
universitas negeri, trus gimana bu aku boleh kuliah gak?” Tanyaku kepada ibu,
jika ibu sudah memberi izin urusan bapakku nomor dua.
“ Ibu setuju ya.. jika aku kuliah? Aku sambil kerja
kok bu.” Tanyaku menyakinkan
“Terserah kamu, kalo ada uang silahkan kuliah? jangan buat
susah orang tua?’’ Jawab ibu agak murung.
“Tapi bu……….uang
pangkalnya gimana? Aku gak punya uang?”
“Gimana sih mau kuliah
kok gak punya uang! Kamu bisanya cuma buat susah orang tua!” Bentak ibuku.
“Berapa memangnya ?”
“2 juta bu…” Jawabku lirih , harapanku ingin
kuliah sepertinya cuma mimpi. Pikirku dalam hati
“Ibu gak punya! Uang
dari mana sebanyak itu!
Aku menghela napas, sudahlah
sepertinya nasibku memang sudah seperti ini. Kuliah cuma impian.
“Pinjem Bude Lastri
sana? Pinjem sendiri!”
Hah… pinjem bude
Lastri? Aku seperti tanaman yang layu menjadi segar kembali. Tanpa pikir
panjang lagi aku langsung ke rumah Bude Lastri, demi kuliah urat malu ini harus
diputus dahulu. Baru pertama kalinya aku meminjam uang ke orang lain apalagi
jumlahnya besar. Malu , gengsi, takut itu sudah pasti. Alhamdullilah Bude
Lastri orangnya baik karena niatku buat kuliah akhirnya aku diberi pinjaman.
Horeee… Sorakku dalam hati.
Pada
waktu kuliah berjalan kendala yang aku
hadapi lebih banyak salah satunya tekanan dari orang tuaku. Terutama bapakku.
Bapakku tetap tidak memberi rido untuk aku kuliah.
“Malu bapak sama sesama
tukang ojek, bapak dibilang sok, belagu,
orang miskin aja pake mau nguliahin anaknya paling juga tempat kuliahnya yang
abal-abal, ujung-ujungnya pengangguran! mending kamu kursus jahit sudah jelas
hasilnya!” Omel bapakku suatu hari.
Ada saja celaan yang
aku dengar dari orang tua, tetangga,
saudara bahkan temanku sendiri.
“Ngapain sih kamu
kuliah, paling cuma buat gengsi doang
biar dibilang gaul…kuliah di tempat gak bermutu cuma D2 lagi, paling lulus jadi pengangguran.” Inilah salah
satu celaan temanku yang paling menyakitkan.
Menangis.
Sudah pasti lah, sungguh kejam orang di sekitarku menilai aku kuliah sekedar
untuk iseng, ingin rasanya aku
teriak. “Haloo semua… aku ini kuliah di
UNJ salah satu universitas favorit di Jakarta. Untuk masuk kesana saja kita
harus berjuang keras . gimana mau dibilang iseng! trus abal abalnya dimana?”
Kendala
yang paling utama adalah uang . Semester satu dan dua alhamdulilah aku masih
bekerja. Kuliah pagi dari jam 08.00
sampai jam 13.00 kemudian dilanjutkan bekerja di salah satu supermarket di
Jakarta pulang pukul 22.00 sampai rumah sudah pukul 24.00. Pagi berangkat lagi
dan seterusnya. Jangan dibayangkan betapa capeknya, tapi sekali lagi ini semua
aku lakukan demi cita-citaku.
Tapi
ternyata semuanya tidak berjalan mulus, sewaktu semester tiga aku dipecat dari
pekerjaan, karena sering terlambat. Hal
ini terjadi karena jam kuliahku mulai tidak teratur. Untuk melanjutkan
kuliah aku mencoba bekerja menjadi guru les di tempat les bergengsi, tapi
gajinya tak seberapa hanya cukup buat ongkos.
Melihat
kegigihanku untuk kuliah hati ibuku mulai melunak, dukungan dan semangat selalu
ia berikan. Bahkan di saat aku sedang terpuruk ketika aku harus di pecat untuk
kedua kalinya.
“Sudahlah kamu gak usah
kerja lagi, biarkan ibu cari uang untuk
kuliahmu, kamu fokus saja kuliah. Tapi kamu harus janji kepada ibu, suatu hari
nanti kamu harus bisa mengangkat derajat orang tua, buat ibu bangga, kamu harus berhasil.” Ibuku mengucapkannya sambil menangis.
Perkataan ibuku adalah
cambuk semangat untukku. Aku berjanji tidak akan membuat ibu malu, akan ku buat
ibu bangga mempunyai anak seperti aku.
Dengan
uang saku yang serba pas-pasan aku berusaha menyelesaikan kuliahku. Tiap hari
aku diberi uang 5 ribu oleh ibuku. Tapi uang tersebut hanya pas buat ongkos,
karena jarak rumah ke tempat kuliahku sangat jauh aku harus naik 2 kali angkot
ditambah kereta api listrik.
kadang-kadang untuk memperoleh beberapa ribu rupiah aku harus kejar kejaran
dengan masinis karena tidak membayar tiket kereta. Uangnya itu aku kumpulkan
untuk digunakan ke rental jika ada tugas kuliah. Jangan mimpi untuk jajan atau
makan enak di kampus itu hanya aku bisa lakukan jika ada teman yang berbaik
hati mentraktir.
Dua setengah tahun kuliah
akhirnya lulus juga walaupun hanya D2 tetapi aku sangat bersyukur bisa
menyelesaikannya. Selang sehari di wisuda aku mendapat tawaran mengajar. Aku
senang sekali tetapi sekali lagi bapakku tidak mendukung.
“Kerja apaan gaji cuma
400 ribu, buat apa kuliah capek-capek,
kalau dapat gaji buat ongkos saja gak cukup!” hina bapakku.
Tapi sekali lagi ibuku
adalah penyelamat, ia sangat bersemangat aku bekerja dan menyarankan untuk tidak menolak pekerjaan itu dan bersedia
menanggung semua beban biaya ongkos sampai aku gajian nanti.
Setahun
aku bekerja walau dengan gaji paspasan sedikit demi sedikit aku mengumpulkan
uang untuk melanjutkan S1, aku putuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di
tempatku dulu, karena minat menjadi guru
semakin banyak jadi biaya di sana semakin mahal. Tidak terjangkau olehku. Jadi
aku putuskan untuk kuliah di Universitas Terbuka (UT). Disana lebih murah dan
waktunya lebih fleksibel bisa kerja
sambil kuliah.
Di
tahun yang sama aku mengambil S1, aku
putuskan untuk menikah. Kuliah sambil menikah ternyata tidak mudah, aku sebagai
anak tertua mempunyai beban membiayai adikku yang masih SMU, sedangkan dipihak
suami juga sama sebagai anak pertama
harus menanggung beban adiknya juga yang sama-sama SMU. Tapi ternyata
Allah Maha Bijaksana dan Maha penolong hambanya, tepatnya setelah sebulan
kelahiran anak pertama aku mendapat kabar bahagia, aku diterima menjadi pegawai negeri. Tentu saja
kabar ini sangat membuatku bersuka cita terutama orang tuaku. Akhirnya aku bisa
memenuhi janji ibu. Tapi perjuangan belum berakhir, cobaan belum berhenti. Aku
belum lulus S1.
Tahun
2010 seharusnya menjadi tahun terakhir aku lulus S1, tapi ternyata Allah
berkehendak lain. Di tahun ini anak keduaku lahir. Tapi karena ia lahir belum
waktunya jadi bayiku lahir dalam keadaan prematur. Sampai pada akhirnya dokter
menyatakan anakku terkena ROP dan menjadi buta. Untuk sejenak aku melupakan
mimpiku untuk menyelesaikan kuliah yang sudah di depan mata. Biaya dan tenaga aku
fokuskan untuk putri bungsuku.
Sampai
akhirnya aku tersadar, aku harus menerima semua ini dengan ikhlas. Dua tahun
telah berlalu kucoba untuk menata kembali kehidupanku, langkah pertama adalah
menyelesaikan kuliahku. Setelah berusaha akhirnya di tahun 2012 aku bisa
menyelesaikan kuliah. Aku telah berhasil menjadi S1. Butuh proses dan perjuangan yang
amat panjang untuk bisa sampai kesana.
Jika orang lain hanya butuh waktu 4 sampai 5 tahun sudah bisa mendapat
titel SE, SH, SPd aku butuh waktu 9 tahun (2003-2012) untuk mencapainya. Oleh karena
itu aku selalu mengingatkan kepada operator di sekolahku “Jangan lupa tulis SPd nya ya!”
Supaya aku selalu ingat betapa susahnya meraih
tiga huruf itu……. SPd.
Tulisan ini aku
persembahkan untuk adik-adik di KBM yang ingin melanjutkan kuliah tetapi
terkendala biaya atau apapun. Jangan cepat menyerah! selama ada niat pasti
Allah memberikan jalan, tetap terus berjuang karena hidup adalah penuh
perjuangan.
Oleh Eka yulianti, SPd.
( yang belum berhenti
berjuang untuk meraih tiga huruf yang lain …MPd…..Insya Allah) J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar