“Mata Ibu kok
merah habis menangis ya?” Ibu tidak menjawab. Kulihat wajah Ibu kusam dan
matanya sembab, bukannya Ibu tadi habis pulang mengaji. Apa ceramah pak kyai membuat Ibu menangis?
Kulihat
Ibu sedang membuka sebuah plastik yang ternyata di dalamnya tersimpan tumpukan
bungkusan jamu bekas.
“Ceritalah
Bu, sebenarnya ada apa?” Tanyaku
penasaran.
“Ibu
tidak percaya sama anak sendiri.”
Ibu menghela napas dan masih menghitung bungkusan jamu yang
berantakan.
“Ibu
sakit hati sama Bu Endang, Ibu merasa diremehkan. Kata Bu Endang pedagang jamu
gendong seperti Ibu nggak mungkin bisa pergi ke tanah suci. Ibu kan pingin
banget kesana,” jelas Ibu dengan sedih.
“Lho
aku malah baru tahu Ibu pingin pergi ke sana, umroh Bu?
“Setahu
aku Ibu pingin banget punya rumahkan? Tanyaku.
“Ah,
Ibu kan sekarang sudah tua mau memperbanyak ibadah soal rumah itu urusan kamu
dan adikmu.”
Kami sejak merantau ke Jakarta hanya bisa tinggal di kontrakan tiga petakan,
itupun terkadang berpindah-pindah, dan semenjak aku menikah Ibu hanya tinggal
berdua dengan adik ku Arum. Sementara bapak 2 tahun lalu telah dipanggil Allah.
Semenjak rumah kami di kampung dijual oleh almarhum Bapak tanpa sepengetahuan
kami, Ibu selalu bilang kami harus dapat
beli rumah lagi walaupun kecil sekalipun. Tapi aku heran sekarang Ibu telah
berubah. Pikiran duniawi telah beliau tinggalkan
“Trus
itu untuk apa?” Tanyaku sambil menunjuk ke arah tumpukan bungkusan jamu.
“Ini
tiket Ibu menuju ke sana, tanah suci Mekah impian Ibu.”
“Jika
Ibu bisa mengumpulkan 10.000 bungkus akan mendapat hadiah umroh.”
“Trus
sekarang Ibu sudah berhasil mengumpulkan berapa?”
“Baru
150,” jawab Ibu lemah.
“Mudah-mudahan
impian Ibu bisa terkabul,” ucapku.
“Amin,”
jawab Ibu.
“Nggak
usah sedih Bu, buktikan kepada Bu Endang
seorang tukang jamu dan janda, bisa pergi Umroh,” ucapku memberi semangat
kepada Ibu.
“Jika
Ibu tidak nyaman nggak usah datang lagi ke pengajian itu.”
“Dihina
bagi Ibu sudah biasa. Perkataan mereka tidak akan membuat Ibu mundur untuk
menuntut ilmu agama,” jawab Ibu tegas.
Semenjak
hari itu Ibu lebih bersemangat lagi mengumpulkan bungkusan jamu, selain dari
penjualannya sendiri, beliau juga meminta tolong kepada sesama rekan penjual
jamu untuk menyimpan bekas bungkusan jamu dan memberikan kepadanya.
Seminggu
sekali aku pergi kerumah Ibu. Untuk memastikan Ibu dan adikku baik-baik saja.
Dan setiap minggu aku melihat pemandangan yang sama. Ibu yang sedang menghitung
bungkusan jamu. Tampaknya usaha Ibu giat sekali jumlah bungkusan terlihat bertambah
banyak.
“Wah
sudah banyak ya, Bu.”
“Alhamdulliah
Ren, dibantu sama teman Ibu sesama pedagang jamu. Sudah dapat 1200,” jawab Ibu sambil merapikan bungkusan jamunya.
“Maaf
ya bu, aku nggak bisa bantu apa-apa,” jawabku lirih.
“Kamu
nggak usah mikirin Ibu Ren, kamu kan lagi mau beli rumah, Ibu nggak mau kamu
punya nasib seperti Ibu sampai tua masih ngontrak,” jawaban Ibu mengobati
kekecewaanku.
Adikku
Arum memang bekerja, tapi pekerjaannya sebagai buruh pabrik tidak bisa diharapkan
banyak. Sementara aku hanya sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada gaji
suami. Aku hanya bisa mendoakan semoga keinginan Ibu bisa cepat terlaksana.
Sebenarnya
aku dan adikku sudah meminta Ibu untuk tidak dagang jamu lagi, mengingat
kesehatan beliau yang mulai menurun, apalagi semenjak peninggalan Bapak. Ibu
menjadi kesepian , untung ada Zidan anak pertamaku cucu kesayanganya sebagai
pelipur hati.
Semenjak
peninggalan bapak sikap Ibu memang berubah lebih religius, lebih rajin
menghadiri majelis taklim di sekitar rumah, padahal dulu Ibu sangat malas untuk
pergi dengan alasan capek atau lelah. Sebenarnya aku tahu alasan sebenarnya Ibu
tidak bisa membaca al Quran, itu yang membuat beliau minder. Tapi semenjak Ibu
akrab dengan Bu Rt sikapnya langsung berubah. Sholat lima waktu tidak pernah ia
tinggalkan, bahkan Ibu sering melaksanakan sholat sunah Dhuha di pagi hari
sebelum berangkat dagang, dan malamnya tidak lupa sholat Tahajud. Selain itu
Ibu juga jadi rajin puasa Senin Kamis. Dan yang aku paling senang adalah sikap
Ibu sekarang lebih sabar sedangkan dulu kami sering bertengkar, karena Ibu selalu bersikap egois, merasa
benar walaupun salah.
Keinginannya
untuk umroh lebih-lebih membuatku kaget, kok bisa Ibu berpikiran ingin ke sana?
Padahal dulu hal yang paling diimpikan Ibu adalah mempunyai rumah sendiri. Katanya
beliau sudah bosan mengontrak terus.
*****
“Krriiiiing,”
terdengar bunyi Hpku berbunyi.
“Mba
cepat ke sini!” kata Arum dengan panik.
“Ada
apa, Rum?”
“Rumah
kontrakan kita kebakaran, Mba”
“Astaghfirullah,
terus Ibu gimana keadaannya?” Tanyaku penuh kecemasan.
“Ibu
kena luka bakar Mba agak parah, sekarang ada di rumah sakit, cepat ke sini ya Mba.”
Tanpa
pikir panjang lagi aku segera bergegas ke rumah sakit, ku kabari suami yang
masih di kantor untuk segera menyusul.. Setelah ku jemput Zidan di sekolah aku
langsung menuju rumah sakit. Di perjalanan tak henti-hentinya kuucapkan doa kepada
Allah untuk meminta keselamatan Ibu. Setelah 20 menit akhirnya sampai juga di rumah
sakit. Arum langsung menyambut dengan tangisan.
“Gimana
keadaaan Ibu, Rum?” Tanyaku.
“Ibu
masih pingsan Mba,” jawab Arum sambil menangis.
“Parah
luka Ibu.”
“Kata
dokter luka bakar stadium 2 tapi masih bisa ditolong."
“Kok
bisa memangnya waktu kejadian Ibu lagi ngapain?”
“Sebenarnya
waktu kebakaran Ibu sudah selamat, tapi Ibu ternyata lupa sesuatu trus langsung
lari kedalam rumah tidak ada yang bisa mencegah.”
“Ternyata
Ibu hanya mengambil bungkusan jamu yang berhadiah umroh itu mba dan tanpa sadar
bajunya telah terbakar.”
Aku
tertegun mendengarkan penjelasan Arum, tanpa terasa air mata telah mengalir.
Sungguh besar niatmu Ibu untuk pergi ke tanah suci sampai tidak menghiraukan
keselamatanya sendiri.
Ibu
masih terbaring tidak berdaya, masih pingsan mungkin sekarang beliau tengah
bermimpi sedang di Mekah sehingga enggan bangun.
“Bu,
jika sehat nanti Ibu akan segera pergi
ke tanah suci, itu janjiku…. jadi cepatlah sehat, kami semua khawatir,” ucapku
sambil memegang tangannya yang sebagian terbalut perban.
Sepulang
dari rumah sakit kusempatkan untuk melihat kontrakan Ibu yang terbakar,
menyedihkan sekali semuanya hangus terbakar. Kontrakan Ibu berderet empat dan
semuanya hancur. Setelah kutanya kepada beberapa tetangga ternyata penyebab
kebakaran itu adalah adanya ledakan tabung gas, yang kemudian diikuti dengan
konsleting listrik. Tidak ada korban jiwa tetapi ada beberapa yang terluka
salah satunya adalah Ibuku yang paling parah. Tidak ada yang tersisa dari rumah
kontrakan Ibu hanya tumpukan bungkusan jamu yang ia pertaruhkan nyawanya untuk
itu. Ibu pasti sangat sedih semua perlengkapan jualan jamunya terbakar. Aku
bawa pulang bungkusan itu, mungkin Ibu akan menanyakannya jika sadar nanti. Dan
benar saja setelah beberapa jam akhirnya aku mendapat kabar jika Ibu telah
sadar dan beliau menanyakan di mana bungkusan jamunya itu?
Setelah
keluar dari rumah sakit Ibu tidak bersedia tinggal denganku. Dengan alasan jauh
dari langganan jamunya. Sehingga seminggu ini aku dan suami disibukkan mencari
kontrakan dan perlengkapan untuk jualan jamu, karena beliau bersikeras akan
tetap berjualan jamu jika sudah sehat nanti.
*****
Satu
bulan kemudian. Alhamdulillah kondisi Ibu telah pulih. Walaupun bekas lukanya
belum hilang tapi Ibu sudah mulai dagang. Padahal kami sudah melarangnya tetapi
Ibu tetap tidak mau mendengarkan. Dengan alasan kalo tidak segera dagang jamu
bungkusnya kapan lakunya? jika tidak laku maka bungkusan jamunya tidak akan
bertambah.
“
Ini buat Ibu,” ucapku sambil menunjukkan
secarik kertas.
“Apa
ini, Ren? Tanya Ibu penasaran.
“Tiket
umroh untuk Ibu.”
“Kamu
dapat dari mana?”
“Jangan-jangan
uang yang akan kamu pergunakan untuk beli rumah.”
“Iya
Bu, tapi kami ikhlas kok.”
“Trus
rumah kamu gimana?”
“Nanti
jika Ibu sudah sampai ke Mekah, tolong doakan kami, supaya Allah memberikan kami
rumah yang indah di dunia dan akhirat.
“Makasih
ya, Ren. Ibu janji setibanya di sana Ibu akan
mendoakan kalian semua,” jawab Ibu sambil memelukku dengan menangis
gembira.
Dan
aku sendiri lega rasanya melihat Ibu bahagia. Jika Ibu bahagia kami juga akan
bahagia.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar