Cinta Bugenvile

Jumat, 16 Mei 2014

Impian Seorang Pedagang Jamu




Mata Ibu kok merah habis menangis ya?” Ibu tidak menjawab. Kulihat wajah Ibu kusam dan matanya sembab, bukannya Ibu tadi habis pulang mengaji.  Apa ceramah pak kyai membuat Ibu menangis?

Kulihat Ibu sedang membuka sebuah plastik yang ternyata di dalamnya tersimpan tumpukan bungkusan jamu bekas.

“Ceritalah Bu, sebenarnya  ada apa?” Tanyaku penasaran.

“Ibu tidak percaya sama anak sendiri.”

 Ibu menghela napas dan  masih menghitung bungkusan jamu yang berantakan.

“Ibu sakit hati sama Bu Endang, Ibu merasa diremehkan. Kata Bu Endang pedagang jamu gendong seperti Ibu nggak mungkin bisa pergi ke tanah suci. Ibu kan pingin banget kesana,” jelas Ibu dengan sedih.

“Lho aku malah baru tahu Ibu pingin pergi ke sana, umroh Bu?

“Setahu aku Ibu pingin banget punya rumahkan? Tanyaku.

“Ah, Ibu kan sekarang sudah tua mau memperbanyak ibadah soal rumah itu urusan kamu dan adikmu.”

            Kami sejak merantau ke Jakarta  hanya bisa tinggal di kontrakan tiga petakan, itupun terkadang berpindah-pindah, dan semenjak aku menikah Ibu hanya tinggal berdua dengan adik ku Arum. Sementara bapak 2 tahun lalu telah dipanggil Allah. Semenjak rumah kami di kampung dijual oleh almarhum Bapak tanpa sepengetahuan kami, Ibu  selalu bilang kami harus dapat beli rumah lagi walaupun kecil sekalipun. Tapi aku heran sekarang Ibu telah berubah. Pikiran duniawi telah beliau tinggalkan

“Trus itu untuk apa?” Tanyaku sambil menunjuk ke arah tumpukan bungkusan jamu.

“Ini tiket Ibu menuju ke sana, tanah suci Mekah impian Ibu.”

“Jika Ibu bisa mengumpulkan 10.000 bungkus akan mendapat hadiah umroh.”

“Trus sekarang Ibu sudah berhasil mengumpulkan berapa?”

“Baru 150,” jawab Ibu lemah.

“Mudah-mudahan impian Ibu bisa terkabul,” ucapku. 

“Amin,” jawab Ibu.

“Nggak usah sedih  Bu, buktikan kepada Bu Endang seorang tukang jamu dan janda, bisa pergi Umroh,” ucapku memberi semangat kepada Ibu. 

“Jika Ibu tidak nyaman nggak usah datang lagi ke pengajian itu.”

“Dihina bagi Ibu sudah biasa. Perkataan mereka tidak akan membuat Ibu mundur untuk menuntut ilmu agama,” jawab Ibu tegas.

            Semenjak hari itu Ibu lebih bersemangat lagi mengumpulkan bungkusan jamu, selain dari penjualannya sendiri, beliau juga meminta tolong kepada sesama rekan penjual jamu untuk menyimpan bekas bungkusan jamu dan memberikan kepadanya.

            Seminggu sekali aku pergi kerumah Ibu. Untuk memastikan Ibu dan adikku baik-baik saja. Dan setiap minggu aku melihat pemandangan yang sama. Ibu yang sedang menghitung bungkusan jamu. Tampaknya usaha Ibu giat sekali jumlah bungkusan terlihat bertambah banyak.
“Wah sudah banyak ya, Bu.”

“Alhamdulliah Ren, dibantu sama teman Ibu sesama pedagang jamu. Sudah dapat 1200,”  jawab Ibu sambil merapikan bungkusan jamunya.

“Maaf ya bu, aku nggak bisa bantu apa-apa,” jawabku lirih.

“Kamu nggak usah mikirin Ibu Ren, kamu kan lagi mau beli rumah, Ibu nggak mau kamu punya nasib seperti Ibu sampai tua masih ngontrak,” jawaban Ibu mengobati kekecewaanku. 

Adikku Arum memang bekerja, tapi pekerjaannya sebagai buruh pabrik tidak bisa diharapkan banyak. Sementara aku hanya sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada gaji suami. Aku hanya bisa mendoakan semoga keinginan Ibu bisa cepat terlaksana.

Sebenarnya aku dan adikku sudah meminta Ibu untuk tidak dagang jamu lagi, mengingat kesehatan beliau yang mulai menurun, apalagi semenjak peninggalan Bapak. Ibu menjadi kesepian , untung ada Zidan anak pertamaku cucu kesayanganya sebagai pelipur hati. 

Semenjak peninggalan bapak sikap Ibu memang berubah lebih religius, lebih rajin menghadiri majelis taklim di sekitar rumah, padahal dulu Ibu sangat malas untuk pergi dengan alasan capek atau lelah. Sebenarnya aku tahu alasan sebenarnya Ibu tidak bisa membaca al Quran, itu yang membuat beliau minder. Tapi semenjak Ibu akrab dengan Bu Rt sikapnya langsung berubah. Sholat lima waktu tidak pernah ia tinggalkan, bahkan Ibu sering melaksanakan sholat sunah Dhuha di pagi hari sebelum berangkat dagang, dan malamnya tidak lupa sholat Tahajud. Selain itu Ibu juga jadi rajin puasa Senin Kamis. Dan yang aku paling senang adalah sikap Ibu sekarang lebih sabar sedangkan dulu kami sering bertengkar,  karena Ibu selalu bersikap egois, merasa benar walaupun salah.

            Keinginannya untuk umroh lebih-lebih membuatku kaget, kok bisa Ibu berpikiran ingin ke sana? Padahal dulu hal yang paling diimpikan Ibu adalah mempunyai rumah sendiri. Katanya beliau sudah bosan mengontrak terus. 

*****

“Krriiiiing,” terdengar bunyi Hpku berbunyi.

“Mba cepat ke sini!” kata Arum dengan panik.

“Ada apa, Rum?”

“Rumah kontrakan kita kebakaran, Mba”

Astaghfirullah, terus Ibu gimana keadaannya?” Tanyaku penuh kecemasan.

“Ibu kena luka bakar Mba agak parah, sekarang ada di rumah sakit, cepat ke sini ya Mba.”

Tanpa pikir panjang lagi aku segera bergegas ke rumah sakit, ku kabari suami yang masih di kantor untuk segera menyusul.. Setelah ku jemput Zidan di sekolah aku langsung menuju rumah sakit. Di perjalanan tak henti-hentinya kuucapkan doa kepada Allah untuk meminta keselamatan Ibu. Setelah 20 menit akhirnya sampai juga di rumah sakit. Arum langsung menyambut dengan tangisan.

“Gimana keadaaan Ibu, Rum?” Tanyaku.

“Ibu masih pingsan Mba,” jawab Arum sambil menangis.

“Parah luka Ibu.”

“Kata dokter luka bakar stadium 2 tapi masih bisa ditolong."

“Kok bisa memangnya waktu kejadian Ibu lagi ngapain?”

“Sebenarnya waktu kebakaran Ibu sudah selamat, tapi Ibu ternyata lupa sesuatu trus langsung lari kedalam rumah tidak ada yang bisa mencegah.”

“Ternyata Ibu hanya mengambil bungkusan jamu yang berhadiah umroh itu mba dan tanpa sadar bajunya telah terbakar.”

Aku tertegun mendengarkan penjelasan Arum, tanpa terasa air mata telah mengalir. Sungguh besar niatmu Ibu untuk pergi ke tanah suci sampai tidak menghiraukan keselamatanya sendiri.
Ibu masih terbaring tidak berdaya, masih pingsan mungkin sekarang beliau tengah bermimpi sedang di Mekah sehingga enggan bangun.

“Bu, jika  sehat nanti Ibu akan segera pergi ke tanah suci, itu janjiku…. jadi cepatlah sehat, kami semua khawatir,” ucapku sambil memegang tangannya yang sebagian terbalut perban.

Sepulang dari rumah sakit kusempatkan untuk melihat kontrakan Ibu yang terbakar, menyedihkan sekali semuanya hangus terbakar. Kontrakan Ibu berderet empat dan semuanya hancur. Setelah kutanya kepada beberapa tetangga ternyata penyebab kebakaran itu adalah adanya ledakan tabung gas, yang kemudian diikuti dengan konsleting listrik. Tidak ada korban jiwa tetapi ada beberapa yang terluka salah satunya adalah Ibuku yang paling parah. Tidak ada yang tersisa dari rumah kontrakan Ibu hanya tumpukan bungkusan jamu yang ia pertaruhkan nyawanya untuk itu. Ibu pasti sangat sedih semua perlengkapan jualan jamunya terbakar. Aku bawa pulang bungkusan itu, mungkin Ibu akan menanyakannya jika sadar nanti. Dan benar saja setelah beberapa jam akhirnya aku mendapat kabar jika Ibu telah sadar dan beliau menanyakan di mana bungkusan jamunya itu? 

Setelah keluar dari rumah sakit Ibu tidak bersedia tinggal denganku. Dengan alasan jauh dari langganan jamunya. Sehingga seminggu ini aku dan suami disibukkan mencari kontrakan dan perlengkapan untuk jualan jamu, karena beliau bersikeras akan tetap berjualan jamu jika sudah sehat nanti.  

*****
Satu bulan kemudian. Alhamdulillah kondisi Ibu telah pulih. Walaupun bekas lukanya belum hilang tapi Ibu sudah mulai dagang. Padahal kami sudah melarangnya tetapi Ibu tetap tidak mau mendengarkan. Dengan alasan kalo tidak segera dagang jamu bungkusnya kapan lakunya? jika tidak laku maka bungkusan jamunya tidak akan bertambah.

“ Ini buat Ibu,”  ucapku sambil menunjukkan secarik kertas.

“Apa ini, Ren? Tanya Ibu penasaran.

“Tiket umroh untuk Ibu.”

“Kamu dapat dari mana?”

“Jangan-jangan uang yang akan kamu pergunakan untuk beli rumah.”

“Iya Bu, tapi kami ikhlas kok.”

“Trus rumah kamu gimana?”

“Nanti jika Ibu sudah sampai ke Mekah, tolong doakan kami, supaya Allah memberikan kami rumah yang indah di dunia dan akhirat.

“Makasih ya, Ren. Ibu janji setibanya di sana Ibu akan  mendoakan kalian semua,” jawab Ibu sambil memelukku dengan menangis gembira.

Dan aku sendiri lega rasanya melihat Ibu bahagia. Jika Ibu bahagia kami juga akan bahagia.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar